Kamis, 18 April 2013

SOSIALISASI ANAK HOMESCHOOLING


Menjadi pertanyaan pertama bagi orang-orang yang mendengar bahwa kami memilih Homeschooling adalah tentang sosialisasi. Pertanyaan yang cukup standar dan dapat dimaklumi sebagai pertanda belum pahamnya kebanyakan orang dengan konsep HS. Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong saya untuk berbagi sedikit pengetahuan tentang sosialisasi.

Apa itu sosialisasi? 
Jika kita bertanya pada diri kita juga orang-orang kebanyakan, mereka akan menjawab bahwa sosialisasi itu adalah bergaul dan bermasyarakat. Jawaban itu tidak salah namun kurang tepat. Karena ternyata sosialisasi adalah proses belajar agar seseorang memiliki kepribadian sosial yang sesuai sehingga mampu menjadi individu yang bertanggungjawab. Tanggung jawab yang dimaksud tentunya tanggungjawab yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagai pegangan hidup utama.

Manusia adalah makhluk social. Mereka lahir dengan naluri social, namun belum memiliki sifat social (asocial). Kemampuan sosial anak akan diperoleh melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orangtua, saudara, teman sebaya, atau orang dewasa lainnya.

Pada awal masa perkembangannya, kebutuhan social anak akan sangat tergantung pada orangtua serta lingkungan rumahnya. Namun, seiring perkembangannya, anak akan membutuhkan lingkungan social yang lebih luas. Pada saat itu pengaruh teman sebaya sangat kuat pada perkembangan social anak. Pengaruh teman sebaya pada anak-anak cenderung bersifat negative, terutama jika tidak ada sumber rujukan yang positif bagi mereka. Jika dibiarkan, pengaruh teman sebaya bisa mengalahkan pengaruh orangtua, guru, serta orang dewasa lainnya.

Proses sosialisasi di rumah tangga merupakan proses sosialisasi yang terpenting. Rumah diharapkan menjadi dasar dan rujukan bagi proses sosialisasi anak. Sehingga akan menjadi salah jika sosialisasi anak-anak kita digantungkan hanya pada system sekolah. Kondisi tuntutan kurikulum belajar yang menyita perhatian sebagian besar guru, seringkali menyebabkan mereka abai terhadap proses sosialisasi yang terjadi pada anak di sekolah.

Proses sosialisasi di rumah terutama diperoleh anak dari interaksi bersama orangtua, saudara serta keluarga besar. Mengenalkan silsilah keluarga (sunda:pancakaki) merupakan salah satu hal penting dalam proses sosialisasi anak. Belajar tentang panggilan yang berbeda untuk tiap anggota keluarga, memahami tentang pertalian antar anggota keluarga merupakan dasar bagi anak mengenal tentang status dan hubungan social.

Bagi kami yang menjalani HS, sosialisasi bukan hal yang sulit. Karena di dalam rumah mereka belajar banyak hal tentang cara menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih kecil, bekerjasama serta saling menghargai. Peluang untuk meletakkan dasar-dasar sosialisasi yang positif menjadi lebih besar, apalagi bagi saya yang hidup di lingkungan keluarga besar.

Menjalani HS juga bukan berarti anak-anak hanya hidup di dalam rumah tanpa mengenal dunia luar. Justru dengan HS, anak-anak memiliki peluang yang besar untuk menjelajah lingkungannya, bergaul dengan sesamanya. Pergaulan anak-anak HS juga tidak terbatas dengan teman sebaya, tapi mereka dapat bergaul lintas usia.

Bagi kami proses sosialisasi anak-anak dijalani dengan bergaul di keluarga, belajar mengaji di mesjid, shalat berjama'ah di mesjid, serta berkegiatan bersama anak-anak HS lainnya. Pada akhirnya, anak-anak kami memiliki lebih banyak teman serta pengalaman karena lebih memiliki banyak waktu untuk bergaul.

#ODOPfor99days
#day43
#repost

Kamis, 11 April 2013

Komunikasi Empatik


Dalam membina rumah tangga, komunikasi menjadi bagian penting yang harus mendapat perhatian tiap pasangan. Evaluasi yang kontinu terhadap pola komunikasi antar pasangan harus senantiasa dilakukan demi terciptanya hubungan yang harmonis. Banyak pasangan yang menyadari hal ini, namun kesulitan untuk menerapkan pola komunikasi yang baik dan tepat masih sering menjadi permasalahan utama dalam rumah tangga.

Stephen Covey (1997) seorang trainer motivasi mengemukakan sebuah gagasan tentang pola komunikasi empatik yang ditulisnya dalam bukunya yang berjudul “The 7 Habits of Highly Effective People” atau 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Komunikasi empatik adalah pola komunikasi yang memiliki prinsip ‘berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti’. Prinsip ini sebenarnya sudah sejak lama diajarkan oleh Rasulullah saw baik dalam membina komunikasi di keluarga maupun masyarakat.

Dasar dari komunikasi empatik adalah keterampilan mendengarkan empatik, dimana setiap pasangan berusaha mendengarkan secara intensif apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasangannya. Empati memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan simpati. karena dalam mendengarkan empatik, kita bukan hanya mendengarkan dengan telinga, namun juga mendengarkan dengan mata dan hati kita.

Kebiasaan kita saat mendengarkan orang lain adalah dilanjutkan dengan menjawab, mengomentari dan merefleksikannya dengan keadaan kita sendiri.  Seperti contoh, “Saya bisa mengerti perasaan anda, saya juga pernah mengalaminya, cobalah lakukan ini dan itu, saya pun berhasil mengatasi masalah dengan melakukan hal tersebut.” Pada saat kita mengatakan hal itu, sebenarnya kita bukan sedang mendengarkan orang lain, namun kita sedang memaksakan orang lain untuk mendengarkan dan mengerti kita.

Mendengarkan empatik adalah memahami orang lain dengan memasuki paradigma mereka dan tidak menjadikan paradigma kita sebagai acuan. Kita mendengarkan orang lain dengan maksud untuk memahami dan bukan mengevaluasi juga menilai secara sepihak. Inilah konsep yang diisyaratkan dalam hadits,
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (البخارى)
Dari Nabi saw bersabda : Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai dia mampu mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri (HR Bukhari).

Mendengarkan secara empatik mensyaratkan kita  menghilangkan berbagai prasangka yang 
biasanya memberikan persepsi awal terhadap apa yang akan disampaikan orang lain terhadap kita. Sehingga kita merasa bahwa kita mengetahui kemana arah pikiran dan perasaan orang tersebut. Rasulullah saw sangat mewanti-wanti umatnya untuk menjauhi prasangka. Karena prasangka adalah ‘akdzabul hadits’. Prasangka hanya akan menggiring kita pada justifikasi sepihak, sehingga respon yang kita berikan menjadi tidak adil.

Mendengarkan secara empatik memerlukan latihan yang terus menerus dan kontinu. Tidak mudah mewujudkannya dalam pola komunikasi kita, terutama karena kita terbelenggu dengan kebiasaan mendengarkan yang diakhiri dengan menilai dan mengevaluasi pasangan kita. Bahtera rumah tangga merupakan tempat yang paling efektif untuk mengasah dan mengaplikasikan konsep tersebut.

Melalui pernikahan kita disatukan dengan orang yang pada awalnya bukan siapa-siapa kita, tapi kemudian menjadi orang pertama yang kita temui saat bangun tidur. Pemahaman terhadap pikiran dan perasaan pasangan mutlak diperlukan dalam upaya mewujudkan rumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Dengan pola mendengarkan empatik, pemahaman tersebut dapat kita raih dengan baik, meskipun perlu latihan yang terus menerus. Selama ini kita hanya belajar tentang bagaimana cara bicara dan mengungkapkan pikiran kita dengan baik, namun kita lupa belajar bagaimana mendengarkan yang baik.

Saat kita mendengarkan orang lain dalam hal ini pasangan kita, serta berusaha membenamkan diri kita untuk memahami mereka, sebenarnya kita tengah membuka jalan agar pasangan kita pun memahami kita. Dengan bekal pemahaman terhadap pikiran dan perasaan pasangan kita, kemudian kita berusaha mendiagnosa dan bersama-sama merumuskan solusi untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Pemahaman yang tumbuh dari komunikasi yang empatik akan mempu menumbuhkan kepercayaan dan kasih sayang yang mendalam. Inilah makna dari konsep berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti.

Komunikasi yang empatik juga dilandaskan pada cinta dan kasih sayang yang merupakan rahmat dari Allah SWT dan tercurah hanya pada hati yang siap menerimanya. Cinta dan kasih sayang lahir dari kelembutan hati yang selalu siap menerima berbagai kondisi baik positif maupun negatif. Semuanya muncul karena dilandasi keimanan bahwa segala yang telah ditentukan Allah adalah baik.

Cinta dan kasih sayang yang diwujudkan oleh komunikasi empatik adalah cinta yang mampu membangkitkan perasaan yang terpuruk, cinta yang mampu memaafkan setiap kesalahan yang ada, juga cinta yang mampu memberikan ruang bagi kealfaan dan kekurangan. Karena jika cinta hanya menuntut kesempurnaan, berarti cinta itu tidak sempurna. Inilah yang diisyaratkan dalam du’a Rasulullah saw untuk pasangan pengantin, “Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khoirin” (semoga Allah mencurahkan barokahnya baik dalam suka maupun  duka, dan mengumpulkan apa yang ada di antara kalian berdua agar selalu ada dalam kebaikan).

Komunikasi empatik merupakan salah satu cara untuk membina komunikasi yang efektif dalam rumah tangga. Sehingga, suami dan istri mampu menempatkan dirinya dalam koridor peran dan tanggungjawabnya masing-masing tepat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Belajar VS Bermain


Istilah bermain dan belajar sering menjadi penyebab terjadinya 'percekcokan' antara kita sebagai orangtua dengan anak. Orangtua sering menuntut anak untuk lebih banyak belajar daripada bermain, namun anak sebaliknya. Sebenarnya hal itu tak perlu terjadi, karena pada dasarnya bermain dan belajar bukan merupakan dua hal yang berbeda.

Dunia anak adalah dunia yang penuh keceriaan dan canda tawa. Kita sering dibuat tertawa sendiri jika mengenang masa itu dalam hidup kita. Aktivitas mereka masih terlihat natural, tanpa harus terbebani dengan berbagai formalitas kehidupan. Bermain pun menjadi salah satu karakteristik kehidupan mereka yang khas. Sehingga dunia mereka adalah dunia bermain. Namun, orangtua sering membatasi aktivitas bermain anak dengan alasan agar mereka belajar lebih banyak.

Kejengkelan, kekhawatiran serta kekesalan orangtua biasanya dikarenakan mereka mempertentangkan antara bermain dengan belajar. Pada saat belajar, anak dituntut untuk serius, kaku dan tidak dapat mengekspresikan dirinya secara utuh. Bagi seorang anak, ini adalah pengekangan. Sehingga tidak sedikit yang terjadi malah pembangkangan. Pada akhirnya anak akan mempersepsi belajar secara negatif dan berusaha terus menghindarinya.

Selama ini para orangtua mengorientasikan belajar pada banyaknya hal yang dapat dihafal anak, nilai rapot yang bagus, juara kelas serta segudang prestasi. Mereka kemudian menyusun program belajar, les, kursus serta privat lainnya yang harus diikuti anak. Sehingga, terkesan mereka menjadikan anaknya robot yang harus dapat mencapai cita-cita orangtua mereka. Dengan paradigma belajar seperti ini, anak menjadi seorang yang kaku karena tidak dapat memenuhi kebutuhan bermainnya. Banyak anak yang tidak dapat mengembangkan fungsi psikologisnya, kemampuan mental serta tidak mendapat kebahagiaannya.

Pada dasarnya belajar bagi seorang anak, adalah bagaimana dia dapat mengenal, memahami serta bersikap dalam lingkungannya. Anak telah memiliki kemampuan untuk membangun dan mengkreasi pengetahuan. Belajar sebagai suatu proses yang disengaja hanyalah bertugas memfasilitasi proses pembangunan dan pengkreasian pengetahuan tersebut. Melalui aktivitas yang natural, hangat dan menyenangkan belajar akan terasa lebih bermakna bagi anak.

Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua agar dapat menghadirkan proses belajar yang menyenangkan, yaitu :

1.       Ubah mindset orangtua bahwa belajar harus serius
Pandangan yang lurus ke depan, duduk dengan manis, sikap tubuh yang tegap dan tidak loyo, tangan yang selalu siap mencatat adalah sikap-sikap yang dipersepsikan oleh orangtua harus dilakukan anak saat belajar. Sehingga mereka akan marah saat melihat anaknya tertawa-tawa, loncat kesana kemari, atau membongkar isi lemarinya. Orangtua juga lebih senang melihat anaknya duduk menulis dan membaca daripada menggambar atau main game.

Persepsi inilah yang harus mulai kita ubah. Karena persepsi yang salah tentang belajar akan menimbulkan tindakan yang salah pula dalam memfasilitasi belajar anak. Anak adalah pembelajar alami yang mampu mengkreasikan pengetahuan dan keterampilan secara mandiri. Lihat saja bagaimana saat bayi mereka akhirnya bisa berjalan. Tanpa latihan yang terstruktur, instruksi ataupun aba-aba, mereka mampu meniru orang dewasa berjalan secara mandiri.

2.       Perhatikan sudut pandang anak
Pertimbangkan kepentingan mereka bukan hanya kepentingan kita sebagai orangtua. Kita sebagai orangtua sering mempersepsi bahwa anak tidak tahu apa yang terbaik bagi dirinya, dan orangtuanyalah yang lebih tahu. Anak adalah individu yang unik, yang memiliki keinginan serta perasaan. Mereka ingin dipahami dan dihargai sebagaimana layaknya kita. Untuk itu Lakukan dialog yang terbuka dan jujur tentang apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh anak. Terbuka artinya memberi kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Jujur artinya berikan informasi yang benar serta penghargaan yang tepat untuk setiap prestasinya.

3.       Cairkan batasan antara belajar dan bermain
Tak perlu ada waktu khusus untuk belajar atau bermain, karena setiap aktifitas anak adalah proses belajar yang menyenangkan. Yang perlu dilakukan adalah memfasilitasi setiap aktifitas anak agar lebih bermakna.

4.       Ganti istilah belajar dengan bermain
Jangan katakan, "Yuk, belajar membaca!" tapi katakan, "Yuk, kita mulai permainan membaca." Jangan pula terlalu akademik, karena nilai bukan orientasi utama bagi anak. Tapi kepuasan dan kesenangan adalah tujuan utama aktifitas yang mereka lakukan.

Kamis, 04 April 2013

Homeschooling adalah Pilihan Kami

Homeschooling (HS) adalah salah satu alternatif model pendidikan yang berbasis keluarga. Keberadaan HS diakui dan dilindungi oleh undang-undang. Jadi, bukan suatu kesalahan jika ada keluarga yang memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya di lembaga formal sebagaimana tidak salah juga jika ada keluarga yang memilih menyekolahkan anaknya di lembaga formal. Karena sekolah adalah pilihan, bukan suatu keharusan.

Pemerintah mencanangkan program Wajib Belajar, bukan Wajib Sekolah. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dengan bentuk apa saja. Apalagi anak-anak adalah sosok pembelajar mandiri yang memiliki kecenderungan belajar secara alami. Bagi anak-anak setiap aktifitas yang mereka lakukan adalah suatu proses belajar di mana mereka mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman.


Konsep Homeschooling diorientasikan untuk mengembalikan fungsi keluarga pada hakikatnya sebagai pendidik pertama dan yang utama. Kebiasaan sebagian besar masyarakat untuk mendelegasikan tugas pendidikan ke lembaga formal, menjadikan hal tersebut seolah suatu kewajiban. Kebiasaan ini cenderung menimbulkan dampak lemahnya peran keluarga dalam tanggungjawab pendidikan anak. Bahkan kemudian muncul paradigma, bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dan memiliki legalitas tertentu. Saat terjadi hal yang tidak diinginkan pada diri anak, tak segan-segan orangtua menyalahkan pihak lembaga tanpa mengevaluasi pola pendidikan mereka di keluarga.

Sebagai miniatur masyarakat, keluarga merupakan basis fundamental dalam merekayasa kebaikan bagi lingkungannya. Cita-cita untuk menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur  dimulai dengan rekayasa keluarga sebagai lingkungan terkecil.Salah satu bentuk rekayasa terpenting dalam keluarga adalah tarbiyatul aulad. Karena anak sebagai bagian penting dalam keluarga bukan hanya sebagai pemanis dan penambah keharmonisan keluarga belaka.

Pandangan tersebut yang menjadi dasar bagi kami memilih model Homeshooling bagi anak-anak kami. Perjalanan HS kami sejak awal tidaklah mulus. Bagaimanapun juga, pilihan kami adalah sesuatu yang tak lazim di tengah masyarakat. Ada banyak pandangan menolak dan mempertanyakan. Namun semuanya dapat kami jawab dengan senyuman dan optimisme kami.

Selain tantangan eksternal tersebut, sebagai pemula kami hanya memiliki semangat. Pengalaman serta pengetahuan tentang cara menjalani keseharian HS masih belum kami miliki. Kebiasaan baru saat kami memutuskan HS adalah rajin membuka internet, terutama Facebook sebagai media berbagi dan berjejaring yang akrab bagi kami. Alhamdulillah, di sini kami dipertemukan dengan banyak keluarga yang memiliki visi yang sama dalam hal mendidik anak. Ada banyak inspirasi yang kami temukan, meskipun dalam implementasinya kami masih gagap.


Tantangan terberat saat memulai HS adalah tantangan internal. Ada banyak paradigma dan pola berpikir yang harus berubah 180 derajat. Karena bagaimanapun juga kami adalah produk sistem sekolah. Kungkungan formalitas selama bertahun-tahun membuat kami kehilangan sensitifitas belajar. Sehingga, tak jarang terjadi benturan-benturan harapan antara keinginan kami dengan keinginan anak-anak.

Menyadari berbagai kelemahan diri, keputusan HS telah memacu kami untuk terus belajar dan belajar dari berbagai sumber, berbagai situasi juga kondisi. Satu hal yang jarang kami lakukan sebelumnya, jika bukan karena tuntutan formalitas. Semoga ada banyak hikmah yang dapat kami petik dari keputusan ini. Aamien..

Rabu, 03 April 2013

Perkenalan

Bismillah,
Saya Insania Zakiyah, ibu dari 3 orang anak. Ada M. Zaky Rabbani (Bani) usinya 8 tahun, Syakira Qonita Sholihat (Ira) usianya 5 tahun, dan Naura Nafisa Muthmainnah (Naura) usianya 2 tahun. Anak-anak kami hari ini tidak bersekolah, mereka menjalani Homeschooling bersama kami orangtuanya. Cita-cita kami adalah ingin menciptakan Baiti Jannati, melalui upaya peningkatan kesholehan kami juga anak-anak. Kami berharap upaya kami tersebut mampu mendorong lingkungan di sekitar kami menuju kesholehan, sehingga tercipta Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Aamien.