Jumat, 21 Februari 2014

Mimpiku : MAR'AH SHOLIHAH

Berbicara tentang mimpi, yang saya harapkan saat ini adalah mengembangkan serta mengoptimalkan semua amanah yang ada di hadapan saya. Amanah yang paling utama, tentu saja keluarga. Saya di keluarga merupakan ro'iyyah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak tentang hal tersebut. Amanah di luar itu yang sedang saya jalani saat ini adalah : 1. Pemudi Persis, 2. Madrasah Diniyyah Takmiliyyah, 3. Rumah Belajar IIP Bandung.

Harapan untuk optimal dalam pengembangan amanah tersebut terangkum dalam mimpi besar saya selama ini ingin tampil menjadi MAR'AH SHOLIHAH. Mar'ah Sholihah digambarkan oleh Rasulullah SAW merupakan perhiasan terindah di dunia, yang juga akan menjadi kebanggaan saat kelak dipertemukan dengan Allah SWT di jannah-Nya.

Karakteristik Mar'ah Sholihah hakikatnya terletak pada kemampuan seorang Muslimah untuk mengoptimalkan empat peran utamanya dalam kehidupan. Pertama, perannya sebagai 'abidah (hamba Allah). Kedua perannya sebagai anak, ketiga perannya sebagai istri, dan keempat perannya sebagai seorang ibu. Jika selama ini, keempat peran tersebut banyak dipandang sebagai peran domestik yang telah membuat wanita termarginalkan, sungguh sebuah persepsi yang SALAH BESAR. Karena dengan keempat perannya inilah seorang wanita sejatinya tengah berkontribusi besar bagi pengembangan karakteristik bangsanya.

Kata Mar'ah dalam bahasa arab serumpun dengan Mir'ah (cermin) dan Muru'ah (kepribadian Islami). Sehingga seorang Mar'ah Sholihah haruslah bisa menjadi Mir'ah bagi yang lainnya karena memiliki Muru'ah.

Pengembangan karakteristik Mar'ah Sholihah yang saya harapkan dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Sholihah sebagai hamba Allah.
Untuk pengembangan diri sebagai hamba Allah, ada beberapa poin yang saya canangkan, yaitu :
a. Peningkatan kuantitas dan kualitas ibadah
  • Khusyu' dalam shalat
  • Peningkatan kualitas tilawah
  • Peningkatan kuantitas hafalan
  • Peningkatan kuantitas shalat sunat dan shaum sunat
  • Shadaqah setiap waktu
b. Pemenuhan kewajiban berdakwah
  • Optimalisasi Pemudi Persis sebagai agen pengembangan Mar'ah Sholihah, melalui pengembangan halaqoh, perumusan program-program jangka panjang di tahun mendatang.
  • Optimalisasi peran Muballighat, dengan giat mengkaji dan menela'ah. Impian saya untuk poin ini, ingin punya agenda khusus ngaji pada seorang ustadz.
2. Sholihah sebagai anak
Peran selanjutnya dari seorang Muslimah adalah peran sebagai anak. Kewajiban berbakti kepada orangtua bagi seorang muslimah yang telah menikah adalah dengan menunjukkan bakti terbaiknya kepada suami. Hal itu sebagai perwujudan hasil didikan serta perawatan orangtua selama bertahun-tahun.

Beberapa hal yang saya ingin lakukan dalam menjalani peran ini pada saat ini adalah :

  • Selalu mendo'akan orangtua dalam setiap kesempatan
  • Berkunjung paling tidak dalam sebulan, ada sekali ke rumah orangtua. Akan lebih baik apabila bisa dilakukan seminggu sekali, mengingat jarak yang dekat. Namun, karena berbagai aktifitas setidaknya meluangkan waktu untuk menghubungi via telepon.
  • Memberikan nafaqoh materi secara rutin. Mengingat kondisi keuangan di rumah tangga kami. Hal ini belum dapat kami lakukan secara rutin. Namun, dalam kuliah tentang financial planning-nya Bu Septi hal ini harus masuk anggaran utama. Semoga kami bisa, Insya Allah.
3. Sholihah sebagai istri
Sebagai pasangan suami-istri, selama ini kami belajar untuk saling mengisi kekurangan masing-masing dengan kelebihan yang dimiliki. Namun, masih banyak hal yang menjadi PR terutama bagi saya pribadi,
  • Mengikis kebiasaan "Yakfurnal 'Asyir" (Kufur thdp kebaikan suami).
  • Memantapkan peran ro'iyyah fil bait dengan melakukan kajian terhadap materi-materi Bunda Cekatan, setelah sebelumnya menyelesaikan materi Bunda Sayang
  • Membantu dakwah suami, terutama membantu tugas-tugas Beliau dalam memanaje Mesjid dan Madrasah. Beberapa cita-cita untuk pengembangan Madrasah yaitu : membangun Taman Bacaan Madrasah, Mengusahakan variasi kegiatan santri, Pengadaan fasilitas pendidikan yang memadai, peningkatan kesejahteraan guru.

4. Sholihah sebagai ibu
Peran ini merupakan peran sentral seorang Muslimah. di peran inilah komitmennya terhadap peningkatan kualitas umat digadaikan. Poin yang saya canangkan untuk peran ini adalah,

  • Meningkatkan kualitas pengasuhan anak melalui aplikasi materi2 Bunda sayang
  • Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak melalui dakwah di keluarga besar juga dakwah di masyarakat dengan memberikan edukasi bagi para ibu di lingkungan sekitar sehingga terbangun visi dan misi yang sama dalam mendidik anak. Salah satu upayanya melalui pengelolaan Rumah Belajar IIP Bandung.

Begitu banyak mimpi yang saya tulis di sini. Saya yakin ketika semuanya bermuara pada pencapaian ridlo Allah SWT, tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi saya adalah makhluk pilihanNya, yang telah dipilihNya untuk menjalani peran-peran tersebut, dan telah dipilihNya pula untuk mendapatkan amanah-amanah tersebut. Saatnya saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa Allah SWT tidak salah memilih saya.

Wallahu 'Alam bish shawab.

#ODOPfor99days
#day88
#repost

Senin, 17 Februari 2014

Ira Makan Sendiri

Melatih kemandirian anak merupakan salah satu materi di program "Bunda Sayang" Institut Ibu Profesional (IIP). Dalam penyampaian materi Ibu Septi menyatakan bahwa anak pada dasarnya sudah bisa dilatih makan sendiri sejak usia 1 tahun. Setelah itu, ibu harus membiasakan anak mandiri dengan membiarkan anak menentukan waktu serta jenis makanannya sendiri.

Hal ini merupakan PR besar bagi saya. Terutama pada kedua anak saya yang kecil, Ira (6th) dan Naura (3th). Setelah saya renungkan, kebiasaan saya menyuapi anak-anak, memang lebih banyak disebabkan keengganan saya mengambil resiko. Seperti bercecerannya makanan di lantai, serta tidak habisnya jatah makan anak-anak, sehingga khawatir mereka tidak kenyang. Namun, saya pun menyadari latihan kemandirian terutama makan merupakan latihan dasar bagi keterampilan hidup anak (life skill). Untuk itu maka saya pun bertekad agar anak-anak bisa makan sendiri.

Pada Naura, sebenarnya tidak terlalu banyak kendala. Namun, karena ada banyak kesulitan untuk mengkompromikan aturan tersebut pada Ira kakaknya. Maka saya pun mendahulukan Ira untuk dilatih makan sendiri.

Karakter Ira yang mudah merasa bad mood (bete), cukup menuntut saya untuk sangat bersabar menghadapi tantangan ini. Awalnya Ira menolak keras, bahkan dia mengancam tidak mau makan kalau tidak disuapi. Maka, rayuan pun mulai saya keluarkan. saya berusaha untuk tetap realistis dan tidak gombal dalam merayunya. Saya belum tahu pasti efekfnya, namun berangsur berkat rayuan itu Ira mau makan sendiri.

Tantangan selanjutnya, porsi makannya yang berkurang cukup drastis. Karena biasanya jika disuapi dia bisa makan sambil bermain, bahkan lari-lari, sehingga dia makan dengan lahap. Maka pada saat makan sendiri, dia harus duduk diam untuk makan. Dan hal itu membuatnya kehilangan selera makan. Mau tidak mau hal ini cukup mengganggu pikiran saya. Apalagi dengan seringnya dia mengeluh sakit perut karena asupan makanan yag tidak stabil.

Atau sering juga Ira merengek ingin ditemani makannya serta rengekan-rengekan lain yang cukup mmebuat saya tergoda untuk menyuapinya. Namun, saya berusaha untuk kuat menghadapi tantangan ini. Saya yakin hal ini adalah efek sementara untuk kemudian saya mendapatkan efek yang lebih manfaat yaitu kemandiriannya.

Hingga saat ini, walau pola makannya belum stabil karena perubahan kebiasaan tersebut. Namun, saya yakin Ira bisa menjadi anak madiri ydan bisa menemukan pola makannya sendiri. Aamiin.

#ODOPfor99days
#day80
#repost

Minggu, 16 Februari 2014

Muraja'ah-Ziyadah

Cita-cita Bani untuk menjadi Hafidz membuat kami semangat untuk terus mencari cara mengembangkan hafalan Bani dirumah. Awalnya kami memasukkan Bani ke sebuah Madrasah Tahfidz. di Madrasah ini Bani belajar setiap sore selama 5 hari. Namun, setelah 3 bulan dijalani kami tidak mendapatkan perkembangan yang signifikan. Oleh karena itu, akhirnya kami memutuskan mengembalikan Bani ke rumah.

Maka sejak awal bulan Pebruari 2014, metode yang kami gunakan adalah Muraja'ah-Ziyadah. Pada metode ini di pagi hari, Bani kami ajak untuk mengulang ayat2 yang sudah pernah dihafalnya, sebagai bagian dari menjaga hafalannya. Kemudian setelah shalat dzuhur Bani mulai menambah hafalannya yang baru. Pada sore hari, Bani kembali mengulang hafalannya dan sebelum tidur dia pun kembali menambah tabungan hafalannya.

Begitu siklus hafalan yang kami terapkan pada Bani. Pada pelaksanaannya masih banyak terkendala dengan naik turunnya motivasi Bani untuk menghafal. Tidak jarang kami harus bersitegang dulu, agar Bani mengikuti program dengan disiplin. Hal ini, sering pula membuat kami merefleksikan kembali minat Bani untuk menghafal al-Qur'an. Namun, setiap kali dilakukan refleksi Bani selalu dengan yakin menyatakan cita-citanya untuk menjadi Hafidz.

Pada akhirnya, kami masih harus banyak belajar untuk menggali minat-minat Bani yang lain. Karena usianya yang baru 9 tahun, masih merupakan masa untuk Bani mengeksplorasi berbagai hal.
Wallahu 'Alam.

#ODOPfor99days
#day85
#repost

Senin, 10 Februari 2014

Lomba Tahfidz

Kegiatan menghafal al-Qur'an merupakan salah satu materi penting yang kami ajarkan di rumah sejak dini. Termotivasi oleh janji Allah untuk menjaga kesucian al-Qur'an dengan melahirkan para penghafal al-Qur'an di muka bumi ini. Pada usia batita, kegiatan menghafal al-Qur'an lebih banyak dilakukan dengan metode tasmi', yaitu memperdengarkan bacaan al-Qur'an di depan anak-anak. Alhamdulillah, anak-anak terlihat enjoy dengan kegiatan ini.

Kebiasaan menghafal al-Qur'an saat anak memasuki usia 5 tahun, berubah menggunakan metode membaca dan menghafal. Dengan kontinuitas kegiatan ini, dalam usia dini anak-anak sudah mampu menghafal beberapa surat dalam Juz 30. Potensi ini cukup menarik perhatian guru Agama Bani saat dia masuk sekolah. Maka, walau dia masih di kelas 1 SD waktu itu, gurunya dengan percaya diri mengikutsertakan Bani dalam lomba Tahfidz antar Sekolah Dasar di tingkat Kecamatan. Padahal dari sekolah lain, rata-rata siswa yang diikutsertakan adalah siswa kelas 5 dan 6 SD.

Sebelumnya, Bani pernah juga mengikuti lomba Tahfidz di Madrasah Diniyyah tempat dia mengaji. Dengan lawan bertanding yang usianya lebih besar, Bani berhasil mejadi Juara 1. Pengalaman inilah yang kemudian membuatnya merasa percaya diri dalam menghadapi lomba Tahfidz di sekolahnya. Dengan bekal rasa percaya diri tersebut, akhirnya Bani pun menjadi juara 1 di tingkat Kecamatan.

Setelah lomba tersebut, Bani pun berulangkali mengikuti lomba Tahfidz dalam berbagai event. Dari 7 lomba yang pernah dia ikuti, hanya pada 2 lomba Bani tidak mendapatkan peringkat juara. Prestasi inilah yang sepertinya membuat Bani menetapkan cita-citanya sebagai HAFIDZ AL-QUR'AN. Dia pun menuliskan besar2 di kamarnya kalau dirinya bercita-cita menjadi Hafidz al-Qur'an.

Saya sendiri mulai bertanya-tanya, apakah ini yang disebut fase mulai menentukan fokus pada anak Homeschooling? Saya pun mulai membantunya mencari lembaga yang bisa membantu Bani mengeksplorasi minatnya. Namun, hingga hari ini kami belum menemukan lembaga yang tepat. Atas saran seorang teman, maka kami pun memulainya dari rumah. Kondisi Bani yang tidak bersekolah katanya, merupakan peluang besar untuk mengeksplorasi minatnya pada hafalan al-Qur'an lebih intensif.

Maka, kami pun membuatkan program serta jadwal latihan yang lebih terstruktur bagi Bani. Sudah dua minggu program ini berjalan, namun belum terlihat mapan karena masih banyak terkendala dengan kondisi waktu saya serta minat Bani yang masih naik-turun. Harapan kami, Bani dapat tumbuh menjadi anak yang sholeh semoga mampu tercapai melalui cita-citanya tersebut. Aamien.

Jumat, 07 Februari 2014

Belajar Kembali Makna Belajar

“Yang diperlukan oleh anak-anak pada saat ini bukanlah kurikulum baru dan lebih baik, tetapi akses lebih
luas terhadap dunia nyata, waktu dan ruang lebih banyak untuk merenungkan pengalaman mereka, serta penggunaan daya khayal dan permainan untuk memaknai kehidupan nyata yang mereka jalani." (John Holt)

Kalimat di atas merupakan kutipan dari makalah Mas Aar Sumardiono,yang berjudul Keseharian Kunci Sukses HS. Makalah ini disampaikan dalam webinar HS Kamis lalu yang memasuki minggu keempat. Banyak hal yang kemudian menyadarkan saya dari paparan juga diskusi yang berlangsung dalam webinar tersebut.

Malam itu akhirnya saya menyelami kembali makna belajar. Tak banyak hal baru sebenarnya. Namun karena selama ini pengetahuan tersebut hanya menjadi teori semata. Akhirnya saya pun banyak tersentak. Karena pada prakteknya semua yang saya lakukan jauh dari teori yang saya pelajari.

Bagi seorang anak sebenarnya tidak ada dikotomi antara bermain dan belajar. Sikap dan perilaku mereka yang natural telah menjadikan belajar pun hakikatnya merupakan bagian penting dari kehidupan mereka. Bagi mereka sebenarnya belajar sama alaminya dengan bernafas. Karena dalam setiap aktifitas, mereka menemukan berbagai pengalaman dan pengetahuan baru. Anak-anak adalah para penemu alami, yang dengan kepolosannya mereka mengeksplorasi dunianya dengan suka cita.

Namun, lain lagi bagi orang dewasa. Kungkungan formalitas yang selama bertahun-tahun dijalani telah membuat mereka kehilangan sensitifitas belajar. Bagi kebanyakan orang dewasa (baca: orangtua) perilaku yang tidak terstruktur, pandangan yang tidak fokus, serta sikap yang santai -yang ditunjukkan oleh anak-anak dalam aktifitasnya- dipandang telah membuat anak kehilangan tujuan belajar yang sesungguhnya. Maka dengan segenap otoritasnya mereka pun memaksakan pandangan 'salah' mereka terhadap anak-anaknya. Sehingga, mewujudlah anak-anak yang menjadikan belajar sebagai kegiatan yang penuh beban dan hampa makna. Naudzubillahi min dzalik...

Pada hakikatnya, anak belajar dari apa yang dia alami setiap hari. Saat anak mengalami kegembiraan, dia akan belajar tentang hakikat kegembiraan dan bagaimana cara membuat orang lain gembira. Saat anak mengalami kesedihan, anak akan belajar tentang hakikat kesedihan dan bagaimana cara untuk mereduksi kesedihannya. Posisi orangtua (juga orang dewasa lainnya) pada saat itu adalah sebagai fasilitator yang membantu anak menemukan makna belajar yang lebih mendalam. Membantu anak mengikat makna atas berbagai peristiwa yang dialaminya.

Dalam proses Homeschooling, hal ini akan terasa lebih mudah. Orangtua dapat memanfaatkan berbagai kegiatan sehari-hari anak untuk proses belajarnya terbebas dari berbagai formalitas dan keharusan. Jika proses HS kita masih terbebani dengan formalitas dan keharusan, maka artinya kita telah memindahkan sekolah ke dalam rumah.

Proses keseharian, merupakan kegiatan sehari-hari anak seperti kegiatan makan, bermain, membaca, nonton, dan sebagainya.  Atau biasa juga berupa kegiatan orangtua di mana anak ikut terlibat di dalamnya. Belajar melalui keseharian anak- anak merupakan metode belajar yang mudah dan murah. Karena kita akan menggunakan sumber daya yang tersedia di sekitar kita. Sumbernya bukan hanya buku teks, tapi berbagai hal yang ditemui anak. Dengan demikian anak memiliki ruang eksplorasi yang lebih luas.

Yang terpenting dalam belajar melalui keseharian adalah proses pemaknaan aktifitas. Dalam hal ini dibutuhkan keterlibatan orangtua secara aktif dan kreatif dalam aktifitas anak. Sehingga hal-hal yang tampak biasa dapat menjadi luar biasa dengan adanya pengikatan makna atas kegiatan tersebut.

Salah satu cara yang efektif dalam menumbuhkan pemaknaan adalah dengan bertanya terbuka. Melalui bertanya, orangtua juga dapat mengenali dan menggali minat anak. Banyaklah bercerita dan mengobrol dengan anak tentang berbagai hal terkait aktifitas yang sedang dilakukannya. Bantu anak menemukan pengalaman dan pengetahuan baru melalui aktiftasnya.

Paparan di atas telah mengingatkan saya tentang makna belajar yang sesungguhnya. Karena belajar bukan hanya tentang membaca, menulis dan berhitung. Belajar juga bukan hanya tentang menghafal dan mendapat nilai. Tapi, belajar sesungguhnya adalah proses mengambil hikmah dari setiap kejadian dalam kehidupan kita untuk selalu menjadi lebih baik dari hari kemarin.

Hal ini memotivasi saya untuk terus mengevaluasi proses belajar yang kami lakukan di keluarga kami. Agar anak-anak tidak lagi mengalami proses belajar seperti kami, yang hanya memindahkan isi buku ke dalam pikiran, tanpa mampu mengendap dalam kalbu. Astaghfirullah... Aamiin.

#ODOPfor99days
#day45
#repost

3 TAHAP PEMBIASAAN IBADAH KEPADA ANAK

Dari Ibnu 'Amr bin al-'Ash ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda : Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidurnya. (HR Abu Daud).
Anak adalah amanah Allah SWT yang dititipkan kepada para orangtua. Kalimat ini mengandung makna yang dalam, karena menunjukkan besarnya tanggungjawab orangtua terhadap anak. Kewajiban orangtua terhadap anaknya bukan hanya sekedar pemenuhan pangan dan sandang belaka. Namun, lebih dari itu, Islam menekankan agar para orangtua mampu menjaga fithrah yang telah dibawa anak sejak lahir. Fithrah yang menuntun hambaNya untuk senantiasa hanif, dan cenderung pada ketaqwaan hanya kepada Allah SWT.
Rasulullah saw telah memberikan uswah bagi umat Islam dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam pendidikan anak. Hadits yang dikutip di atas merupakan rambu-rambu yang telah diajarkan oleh Rasulullah tentang bagaimana tahapan yang harus dilalui para orangtua dalam mendidik dan membiasakan anak untuk taat melaksanakan berbagai ritual ibadah sebagai manifestasi taqwa.
Ritual ibadah yang disentuh oleh hadits tersebut adalah ibadah shalat. Karena shalat merupakan amalan ibadah yang akan pertama kali dihisab di Yaumul Akhir. Oleh karena itu, pengajaran Rasulullah saw dalam hadits tersebut dapat dipandang sebagai penekanan terhadap hal yang utama dan berlaku juga dalam membiasakan berbagai jenis ibadah lainnya. Oleh karena itu tulisan ini diarahkan pada pola pembiasaan ibadah kepada anak dengan menitikberatkan pada ibadah shalat.
Menyimak hadits di atas, setidaknya ada tiga tahapan penting yang harus dilakukan orangtua dalam mendidik dan membiasakan ibadah kepada anak. Tiga tahapan itu adalah :
1.      Tahap Pengenalan
Tahap ini dimulai sedini mungkin, bahkan sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Tahapan ini akan berakhir saat anak berusia 7 tahun. Sabda Nabi dalam hadits tersebut dimulai dengan “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun” menunjukkan bahwa pendidikan dan pembiasaan ibadah telah dimulai sebelum anak memasuki usia 7 tahun. Karena tidak mungkin kita memerintahkan kepada seseorang, hal yang belum dia ketahui. Jika demikian, tentulah perintah yang kita berikan akan menjadi tidak efektif.
Pada usia bayi sampai 2 tahun, anak mengenal dunianya melalui kemampuan sensori (pengindraan), seperti meraba, melihat, mencium, dan mengecap. Bayi tidak mempunyai pengertian tentang apa yang ada di lingkungannya, oleh karena itu peran orangtua pada masa ini sangat besar dalam mengenalkan kebiasaan ibadah kepada bayi. Berikan pengenalan ibadah kepada bayi melalui bahasa. Seperti mengucapkan basmalah dan hamdalah saat memandikan, memberi makan, memakaikan pakaian dan sebagainya.
Pada tahap ini orangtua mulai mengenalkan anak dengan berbagai jenis ibadah yang telah disyariatkan untuk umat Islam. Caranya dengan melakukan amalan ibadah secara demonstratif di depan anak. Perlihatkan dan sebutkan kepada anak nama ibadah yang sedang dilakukan oleh orangtuanya. Gunakan istilah-istilah syariat dan jangan mengganti istilah ibadah dengan istilah lain, contohnya seperti mengganti istilah “shalat” dengan “alloh”. Hal ini penting, untuk mendekatkan dan menjadikan ibadah sebagai bagian dari kehidupan anak.
Pada usia selanjutnya pengertian anak terus berkembang. Di usia TK, yaitu sekitar 3-6 tahun Syamsu Yusuf (2001) menjelaskan bahwa kesadaran beragamanya ditandai dengan sikap yang reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya. Oleh karena itu, pada masa ini mulailah mengajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ibadah. Ajaklah anak untuk ikut shalat bersama kita, serta sediakan fasilitas ibadah yang dibutuhkan oleh anak. Jadikan saat ibadah adalah saat yang menyenangkan bagi anak. Jangan bebani anak dengan istilah wajib dan dosa.
Berikan penjelasan yang benar dan jujur saat anak bertanya tentang ibadah yang kita lakukan. Gunakan bahasa yang mudah dan tidak terlalu panjang, agar anak mudah memahaminya. Pada masa ini anak sudah meningkat kemampuan intelektual serta bahasanya, oleh karena itu anak sudah mulai bisa menghapal bacaan shalat, do’a-do’a sehari-hari, serta sudah dapat diajarkan membaca al-Qur’an.
Selain mengenalkan berbagai jenis ibadah kepada anak, yang terpenting dari tahap pengenalan adalah memberikan kesan positif terhadap pelaksanaan ibadah. Jangan jadikan pelaksanaan ibadah sebagai sarana pemberian hukuman, seperti anak harus menghafal Qur’an, menghafalkan do’a sebagai hukuman karena kesalahannya. Jangan pula praktek ibadah dijadikan sarana untuk menakut-nakuti anak, seperti ancaman dikhitan kepada anak jika anak berbuat kesalahan, karena khitan merupakan salah satu sunnah Rasul dan bagian penting dari ibadah.

2.      Tahap Pembiasaan
Tahap pembiasaan ibadah merupakan tahapan di mana anak mulai diperintahkan melakukan ibadah secara rutin dan mulai adanya evaluasi terhadap pelaksanaan ibadahnya. Tahap ini dimulai saat anak berusia 7 sampai menjelang 10 tahun.
Abin Syamsuddin M (1996) menyatakan bahwa penghayatan keagamaan anak pada usia ini semakin mendalam, mereka sudah memahami makna keharusan dalam kegiatan ritual ibadah. Sikap keagamaan pun sudah disertai pengertian meskipun masih terbatas pada hal-hal yang bersifat konkrit. Untuk itu, pada usia ini anak sudah bisa dikenalkan dengan istilah wajib, sunat, haram, dan sebagainya.
Terkait dengan pengertian yang semakin berkembang, pada masa ini pembiasaan ibadah kepada anak juga harus disertai dengan pemahaman. Agar anak mulai dapat belajar menginternalisasi kegiatan ibadah sebagai bagian dari kewajibannya. Zakiah Daradjat (1986) mengemukakan bahwa pendidikan agama di usia ini merupakan dasar bagi pembinaan sikap positif terhadap agama dan berhasil membentuk pribadi dan akhlaq anak, sehingga saat memasuki usia remaja, anak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Pendidikan karakter yang hari ini disebut-sebut sebagai pola pendidikan yang tepat dalam menghadapi gejala kerusakan akhlaq haruslah diorientasikan pada penanaman dan pembiasaan ibadah. Karena ibadah dapat membentuk karakter anak menjadi seorang pribadi yang bertauhid dan berakhlaq.
Pada tahapan ini, selain pembiasaan kegiatan ritual ibadah juga dilakukan evaluasi terhadap pelasanaan ibadah tersebut. Ajak anak untuk melihat kembali apakah pelaksanaan ibadah yang dilakukannya sudah tepat. Apakah wudlunya sudah sempurna, gerakan dan bacaan shalatnya sudah tepat, shaumnya sudah benar, dan apakah bacaan alQurannya sudah tartil?
Berikan penekanan pada aspek-aspek ibadah yang masih belum dikuasai anak secara baik. Jika anak masih banyak kesalahan dalam gerakan shalat, lakukan latihan terus menerus hingga gerakannya baik. Jika anak bacaan al-Qur’annya belum tartil, berikan pembelajaran yang lebih intensif. Jangan sampai orangtua sangat resah saat usia 7 tahun anak belum bisa membaca, namun tidak merasa resah bahkan bersikap tak acuh saat usia 7-10 tahun anak belum bisa membaca al-Qur’an.
Pada tahapan ini anak juga mulai dikenalkan dengan istilah taklif, serta kewajiban yang membebaninya. Usia 10 tahun merupakan awal masa pubertas, yaitu gerbang anak memasuki masa baligh. Di mana pada masa ini anak sudah memiliki beban kewajiban sebagaimana layaknya seorang muslim. Peran orangtua sangat penting dalam mengenalkan masa ini kepada anak. Jangan sampai anak mendapatkan informasi yang salah karena berasal dari sumber yang salah. Biarkan anak mendapatkan informasi yang benar tentang masa taklif dari sumber yang benar.

3.      Tahap Internalisasi
Tahapan ini adalah tahap puncak dari pendidikan dan pembiasaan ibadah kepada anak. Pada masa ini anak harus sudah terbiasa melakukan ibadah dan menjadikan ibadah sehari-hari sebagai bagian penting dari aktifitasnya. Tahapan ini dimulai saat mereka memasuki usia 10 tahun.
Evaluasi dan pengawasan yang dilakukan pada masa ini harus lebih intensif dibandingkan pada masa sebelumnya. Hal ini terlihat dari penekanan adanya hukuman fisik yang layak dilakukan orangtua terhadap anak saat mereka tidak mau melakukan shalat. Inilah yang seringkali terabaikan oleh para orangtua. Saat menyadari anaknya semakin besar, seringkali orangtua cenderung membiarkan anaknya dan tidak lagi memperhatikan secara intensif dengan asumsi sudah saatnya mereka mandiri.
Pada masa ini anak memang dituntut untuk mulai mandiri baik secara emosional maupun pribadi. Namun, mandiri bukan berarti lepas dari pengawasan orangtua. Pengawasan dan evaluasi terhadap praktek ibadah anak masih harus dilakukan bahkan harus lebih intensif, namun dengan metode yang berbeda dengan metode pengawasan yang diterapkan saat mereka masih anak-anak.
Pada usia remaja, orangtua harus dapat menempatkan dirinya sebagai teman atau sahabat bagi anak-anaknya. Pola instruksi tidak akan mampu menumbuhkan kemandirian secara efektif. Sebaiknya perbanyak diskusi agar tumbuh pemahaman yang mendalam akan proses ibadah yang dilakukan anak. Karena pada tahap ini, anak harus sudah melakukan ibadah karena keimanan yang tumbuh dalam dirinya.

Pada masa awal remaja, anak akan mengalami sikap skeptis terhadap ibadah yang selama ini sudah rutin dilakukannya. Hal ini dipicu oleh tumbuhnya sikap negatif terhadap pelaksanaan ibadah (meskipun tidak selalu terbuka) disebabkan alam pikirannya yang kritis dan melihat kenyataan orang-orang hipokrit dalam pengakuan dan ucapan yang tidak selaras dengan perbuatannya. Untuk itulah pengawasan dan evaluasi yang lebih intensif penting dilakukan orangtua sebagai penanggungjawab utama terhadap pola pendidikan dan pembiasaan ibadah kepada anak.

#ODOPfor99days
#day46
#repost

Nikmati Prosesnya...

Dalam Homeschooling (HS) kita akan mendorong anak kita agar dapat menjadi pembelajar mandiri. Mereka akan menumbuhkan belajar sebagai suatu kebutuhan, bukan keharusan. Hal ini kemudian menjadi motivasi bagi saya untuk yakin pada jalur HS. Karena tantangan masa depan membutuhkan orang-orang yang mampu menggali informasi, mengolah dan mewujudkannya sebagai sebuah produk dan bukan sekedar menerima dan menelannya mentah-mentah.

Harapan saya untuk mewujudkan anak menjadi pembelajar mandiri seringkali membuat saya harus menelan kekecewaan. Saat proses belajar tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kekecewaan demi kekecewaan terus saya rasakan, manakala anak saya semakin menghindari proses belajar yang saya harapkan karena pada akhirnya saya cenderung menekan dan memaksa. Saat mengevaluasi, saya sering berpikir lantas apa bedanya saya dengan sekolah? Yang justru telah membuat anak saya stres dan memilih untuk keluar.

Setelah berdiskusi dengan sesama HSer, ternyata untuk menjadi pembelajar mandiri dibutuhkan sebuah proses yang panjang. Proses untuk menyiapkan pembelajar mandiri akan membutuhkan banyak waktu dan tenaga. dan hasilnya tidak dapat kita rasakan langsung. Mungkin dibutuhkan waktu beberapa minggu, beberapa bulan, bahkan hingga beberapa tahun.

Dari diskusi saya mencatat bahwa yang terpenting adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan dan bertahap. Mulai dari kegiatan-kegiatan mudah dan yang terpenting disukai oleh anak-anak. Tugas kita sebagai orangtua adalah menciptakan budaya belajar dengan menyediakan stimulus yang kaya dan sesuai, menyiapkan ruang yang luas untuk eksplorasi, serta memberikan sistem insentif-disinsentif yang konsisten.

Jika oranglain menyukai mie instan, maka HS-er menyukai proses membuatnya (kutip dari teh Maya A Pujiati). Jika orangtua lain sibuk mencari dan memilih sekolah yang bagus untuk anaknya, maka orangtua HS sibuk menciptakan sendiri 'sekolah' tersebut untuk anaknya. Jadi, karena kita telah memilih HS, maka bersiaplah untuk berlelah-lelah, berpeluh-peluh, bahkan mungkin hingga berdarah-darah...

Namun seperti kata pepatah, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Seperti yang dikatakan Mba Lala, hari ini kita mungkin merasa direpotkan dengan anak yang cenderung tergantung kepada kita, tapi suatu hari nanti kita akan merasa sedih saat anak2 seolah tak membutuhkan kita lagi (kira2 begitu... maaf kalau salah, he...).

Semoga inspirasi ini dapat memicu saya untuk tetap semangat di jalur HS, dan mampu menikmati kekecewaan tanpa larut di dalamnya. Seperti prinsip 3M, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil, dan Mulai saat ini juga. Allahu Akbar...!!

#ODOPfor99days
#day44
#repost