Jumat, 07 Februari 2014

3 TAHAP PEMBIASAAN IBADAH KEPADA ANAK

Dari Ibnu 'Amr bin al-'Ash ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda : Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidurnya. (HR Abu Daud).
Anak adalah amanah Allah SWT yang dititipkan kepada para orangtua. Kalimat ini mengandung makna yang dalam, karena menunjukkan besarnya tanggungjawab orangtua terhadap anak. Kewajiban orangtua terhadap anaknya bukan hanya sekedar pemenuhan pangan dan sandang belaka. Namun, lebih dari itu, Islam menekankan agar para orangtua mampu menjaga fithrah yang telah dibawa anak sejak lahir. Fithrah yang menuntun hambaNya untuk senantiasa hanif, dan cenderung pada ketaqwaan hanya kepada Allah SWT.
Rasulullah saw telah memberikan uswah bagi umat Islam dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam pendidikan anak. Hadits yang dikutip di atas merupakan rambu-rambu yang telah diajarkan oleh Rasulullah tentang bagaimana tahapan yang harus dilalui para orangtua dalam mendidik dan membiasakan anak untuk taat melaksanakan berbagai ritual ibadah sebagai manifestasi taqwa.
Ritual ibadah yang disentuh oleh hadits tersebut adalah ibadah shalat. Karena shalat merupakan amalan ibadah yang akan pertama kali dihisab di Yaumul Akhir. Oleh karena itu, pengajaran Rasulullah saw dalam hadits tersebut dapat dipandang sebagai penekanan terhadap hal yang utama dan berlaku juga dalam membiasakan berbagai jenis ibadah lainnya. Oleh karena itu tulisan ini diarahkan pada pola pembiasaan ibadah kepada anak dengan menitikberatkan pada ibadah shalat.
Menyimak hadits di atas, setidaknya ada tiga tahapan penting yang harus dilakukan orangtua dalam mendidik dan membiasakan ibadah kepada anak. Tiga tahapan itu adalah :
1.      Tahap Pengenalan
Tahap ini dimulai sedini mungkin, bahkan sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Tahapan ini akan berakhir saat anak berusia 7 tahun. Sabda Nabi dalam hadits tersebut dimulai dengan “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun” menunjukkan bahwa pendidikan dan pembiasaan ibadah telah dimulai sebelum anak memasuki usia 7 tahun. Karena tidak mungkin kita memerintahkan kepada seseorang, hal yang belum dia ketahui. Jika demikian, tentulah perintah yang kita berikan akan menjadi tidak efektif.
Pada usia bayi sampai 2 tahun, anak mengenal dunianya melalui kemampuan sensori (pengindraan), seperti meraba, melihat, mencium, dan mengecap. Bayi tidak mempunyai pengertian tentang apa yang ada di lingkungannya, oleh karena itu peran orangtua pada masa ini sangat besar dalam mengenalkan kebiasaan ibadah kepada bayi. Berikan pengenalan ibadah kepada bayi melalui bahasa. Seperti mengucapkan basmalah dan hamdalah saat memandikan, memberi makan, memakaikan pakaian dan sebagainya.
Pada tahap ini orangtua mulai mengenalkan anak dengan berbagai jenis ibadah yang telah disyariatkan untuk umat Islam. Caranya dengan melakukan amalan ibadah secara demonstratif di depan anak. Perlihatkan dan sebutkan kepada anak nama ibadah yang sedang dilakukan oleh orangtuanya. Gunakan istilah-istilah syariat dan jangan mengganti istilah ibadah dengan istilah lain, contohnya seperti mengganti istilah “shalat” dengan “alloh”. Hal ini penting, untuk mendekatkan dan menjadikan ibadah sebagai bagian dari kehidupan anak.
Pada usia selanjutnya pengertian anak terus berkembang. Di usia TK, yaitu sekitar 3-6 tahun Syamsu Yusuf (2001) menjelaskan bahwa kesadaran beragamanya ditandai dengan sikap yang reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya. Oleh karena itu, pada masa ini mulailah mengajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ibadah. Ajaklah anak untuk ikut shalat bersama kita, serta sediakan fasilitas ibadah yang dibutuhkan oleh anak. Jadikan saat ibadah adalah saat yang menyenangkan bagi anak. Jangan bebani anak dengan istilah wajib dan dosa.
Berikan penjelasan yang benar dan jujur saat anak bertanya tentang ibadah yang kita lakukan. Gunakan bahasa yang mudah dan tidak terlalu panjang, agar anak mudah memahaminya. Pada masa ini anak sudah meningkat kemampuan intelektual serta bahasanya, oleh karena itu anak sudah mulai bisa menghapal bacaan shalat, do’a-do’a sehari-hari, serta sudah dapat diajarkan membaca al-Qur’an.
Selain mengenalkan berbagai jenis ibadah kepada anak, yang terpenting dari tahap pengenalan adalah memberikan kesan positif terhadap pelaksanaan ibadah. Jangan jadikan pelaksanaan ibadah sebagai sarana pemberian hukuman, seperti anak harus menghafal Qur’an, menghafalkan do’a sebagai hukuman karena kesalahannya. Jangan pula praktek ibadah dijadikan sarana untuk menakut-nakuti anak, seperti ancaman dikhitan kepada anak jika anak berbuat kesalahan, karena khitan merupakan salah satu sunnah Rasul dan bagian penting dari ibadah.

2.      Tahap Pembiasaan
Tahap pembiasaan ibadah merupakan tahapan di mana anak mulai diperintahkan melakukan ibadah secara rutin dan mulai adanya evaluasi terhadap pelaksanaan ibadahnya. Tahap ini dimulai saat anak berusia 7 sampai menjelang 10 tahun.
Abin Syamsuddin M (1996) menyatakan bahwa penghayatan keagamaan anak pada usia ini semakin mendalam, mereka sudah memahami makna keharusan dalam kegiatan ritual ibadah. Sikap keagamaan pun sudah disertai pengertian meskipun masih terbatas pada hal-hal yang bersifat konkrit. Untuk itu, pada usia ini anak sudah bisa dikenalkan dengan istilah wajib, sunat, haram, dan sebagainya.
Terkait dengan pengertian yang semakin berkembang, pada masa ini pembiasaan ibadah kepada anak juga harus disertai dengan pemahaman. Agar anak mulai dapat belajar menginternalisasi kegiatan ibadah sebagai bagian dari kewajibannya. Zakiah Daradjat (1986) mengemukakan bahwa pendidikan agama di usia ini merupakan dasar bagi pembinaan sikap positif terhadap agama dan berhasil membentuk pribadi dan akhlaq anak, sehingga saat memasuki usia remaja, anak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Pendidikan karakter yang hari ini disebut-sebut sebagai pola pendidikan yang tepat dalam menghadapi gejala kerusakan akhlaq haruslah diorientasikan pada penanaman dan pembiasaan ibadah. Karena ibadah dapat membentuk karakter anak menjadi seorang pribadi yang bertauhid dan berakhlaq.
Pada tahapan ini, selain pembiasaan kegiatan ritual ibadah juga dilakukan evaluasi terhadap pelasanaan ibadah tersebut. Ajak anak untuk melihat kembali apakah pelaksanaan ibadah yang dilakukannya sudah tepat. Apakah wudlunya sudah sempurna, gerakan dan bacaan shalatnya sudah tepat, shaumnya sudah benar, dan apakah bacaan alQurannya sudah tartil?
Berikan penekanan pada aspek-aspek ibadah yang masih belum dikuasai anak secara baik. Jika anak masih banyak kesalahan dalam gerakan shalat, lakukan latihan terus menerus hingga gerakannya baik. Jika anak bacaan al-Qur’annya belum tartil, berikan pembelajaran yang lebih intensif. Jangan sampai orangtua sangat resah saat usia 7 tahun anak belum bisa membaca, namun tidak merasa resah bahkan bersikap tak acuh saat usia 7-10 tahun anak belum bisa membaca al-Qur’an.
Pada tahapan ini anak juga mulai dikenalkan dengan istilah taklif, serta kewajiban yang membebaninya. Usia 10 tahun merupakan awal masa pubertas, yaitu gerbang anak memasuki masa baligh. Di mana pada masa ini anak sudah memiliki beban kewajiban sebagaimana layaknya seorang muslim. Peran orangtua sangat penting dalam mengenalkan masa ini kepada anak. Jangan sampai anak mendapatkan informasi yang salah karena berasal dari sumber yang salah. Biarkan anak mendapatkan informasi yang benar tentang masa taklif dari sumber yang benar.

3.      Tahap Internalisasi
Tahapan ini adalah tahap puncak dari pendidikan dan pembiasaan ibadah kepada anak. Pada masa ini anak harus sudah terbiasa melakukan ibadah dan menjadikan ibadah sehari-hari sebagai bagian penting dari aktifitasnya. Tahapan ini dimulai saat mereka memasuki usia 10 tahun.
Evaluasi dan pengawasan yang dilakukan pada masa ini harus lebih intensif dibandingkan pada masa sebelumnya. Hal ini terlihat dari penekanan adanya hukuman fisik yang layak dilakukan orangtua terhadap anak saat mereka tidak mau melakukan shalat. Inilah yang seringkali terabaikan oleh para orangtua. Saat menyadari anaknya semakin besar, seringkali orangtua cenderung membiarkan anaknya dan tidak lagi memperhatikan secara intensif dengan asumsi sudah saatnya mereka mandiri.
Pada masa ini anak memang dituntut untuk mulai mandiri baik secara emosional maupun pribadi. Namun, mandiri bukan berarti lepas dari pengawasan orangtua. Pengawasan dan evaluasi terhadap praktek ibadah anak masih harus dilakukan bahkan harus lebih intensif, namun dengan metode yang berbeda dengan metode pengawasan yang diterapkan saat mereka masih anak-anak.
Pada usia remaja, orangtua harus dapat menempatkan dirinya sebagai teman atau sahabat bagi anak-anaknya. Pola instruksi tidak akan mampu menumbuhkan kemandirian secara efektif. Sebaiknya perbanyak diskusi agar tumbuh pemahaman yang mendalam akan proses ibadah yang dilakukan anak. Karena pada tahap ini, anak harus sudah melakukan ibadah karena keimanan yang tumbuh dalam dirinya.

Pada masa awal remaja, anak akan mengalami sikap skeptis terhadap ibadah yang selama ini sudah rutin dilakukannya. Hal ini dipicu oleh tumbuhnya sikap negatif terhadap pelaksanaan ibadah (meskipun tidak selalu terbuka) disebabkan alam pikirannya yang kritis dan melihat kenyataan orang-orang hipokrit dalam pengakuan dan ucapan yang tidak selaras dengan perbuatannya. Untuk itulah pengawasan dan evaluasi yang lebih intensif penting dilakukan orangtua sebagai penanggungjawab utama terhadap pola pendidikan dan pembiasaan ibadah kepada anak.

#ODOPfor99days
#day46
#repost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar