Jumat, 29 Januari 2016

Kepribadian Dalam Islam

Kepribadian (personality) diartikan Allport sebagai “The dynamic organization within the individual of those psycho-physical systems that determine his unique adjustment to his environment”. Dalam Islam kondisi tersebut dapat dimasukkan dalam terminologi ”Akhlaq”. Menurut al-Jurjany dalam at-Ta’rifat akhlaq adalah,
عبارة عن هيئة للنفس راسخة تصدر عنها الأفعال بسهولة و يسر من غير حاجة إلى فكر و روية
“Gambaran kondisi jiwa yang kuat dan dapat melahirkan perilaku dengan cara yang mudah tanpa membutuhkan kepada pemikiran dan penela’ahan”
Dalam penjelasan selanjutnya al-Jurjany mengatakan bahwa perilaku yang muncul dari individu dapat dikategorikan akhlaq ketika sudah melekat menjadi sifat dan tabi’at sehingga mudah untuk mengamalkannya. Sehingga seseorang tidak dapat dikatakan penyabar, ketika kesabaran itu muncul karena keterpaksaan atau hanya pada situasi tertentu. Namun apabila kesabaran tersebut sudah menjadi tabi’at dan kebiasaannya yang melekat, barulah hal itu dapat dikategorikan sebagai akhlaq.
Untuk itu kepribadian dalam Islam merupakan perilaku menetap yang lahir dari individu dan terbentuk melalui pembiasaan, pendidikan dan pelatihan. Sehingga seluruh kehidupan manusia dipandang sebagai suatu proses pendidikan panjang yang akan membentuk akhlaqnya. Dan Islam datang sebagai sarana untuk mengarahkan akhlaq tersebut agar menjadi akhlaq yang lurus. Seperti yang diungkapkan oleh Nabi e dalam haditsnya,
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlaq” (al-Hadits)
Akhlaq dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua, yaitu akhlaq fitriyah dan akhlaq muktasabah. Akhlaq fitriyyah adalah kepribadian yang bersifat bawaan dan melekat dalam diri individu sebagai potensial ability yang harus dikembangkan. Sedangkan akhlaq muktasabah adalah kepribadian individu yang lahir sebagai perolehan dari pendidikan, latihan, pengaruh lingkungan alam dan pengaruh sosial-budaya. Hal ini diungkapkan pula oleh para ahli psikologi kontemporer yang meyakini bahwa kepribadian individu merupakan akumulasi dari sifat bawaan dan pengaruh lingkungan yang diterimanya. Oleh karena itu, kepribadian atau akhlaq dalam Islam dipandang dinamis. Meskipun merupakan perilaku yang sudah menetap dan menjadi tabi’at, namun akhlaq tetap dapat dibentuk dan dirubah sesuai dengan pengaruh yang diterimanya.
Akhlaq yang berwujud perilaku nyata yang mencerminkan kepribadian individu merupakan akumulasi dari iman sebagai keyakinan dan keteguhan hati dengan ‘amal yang berupa perilaku nyata. Untuk itu Allah I selalu menggandengkan kata iman dengan ‘amal sholeh dalam firman-Nya untuk memperlihatkan karakteristik individu yang diharapkan.
Sebagai suatu perilaku, wujud akhlaq terbagi pada dua macam manifestasi, yaitu akhlaq mahmudah (akhlaq terpuji) dan akhlaq madzmumah (akhlaq tercela). Dengan potensi fujur dan taqwa serta kebebasan memilih yang dimiliki manusia, mereka berkesempatan untuk memiliki kedua jenis akhlaq tersebut.
Manusia dalam kepribadiannya memiliki dua karakteristik yang memerlukan keseimbangan. Karakteristik pertama adalah karakteristik hewani yang menuntut dirinya untuk memenuhi kebutuhan dan nafsu fisik. Sedangkan karakteristik yang kedua adalah karakteristik ta’at seperti malaikat yang menuntut dirinya untuk senantiasa menyembah dan menyerahkan diri pada satu Dzat yang Maha Agung.
Kedua karakteristik ini memerlukan pemenuhan dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga seluruh kehidupan manusia merupakan proses untuk menyeimbangkan-nya menjadi satu kepribadian yang lurus dan mantap. Adakalanya manusia ditarik oleh kebutuhan nafsu fisiknya dan adakalanya dia pun ditarik oleh kebutuhan spiritualnya. Sehingga akan terjadi tarik menarik yang dapat menimbulkan konflik psikis dalam diri manusia. Kondisi tarik menarik ini dijelaskan Allah dalam al-Qur’an,
و أما من خاف مقام ربه و نهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى
“ Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (QS an-Nazi’at, 79:40)
Kalimat “menahan diri” memperlihatkan adanya satu konflik dan perjuangan yang terjadi dalam diri manusia sebelum mereka kemudian menentukan pilihannya. Dan kesulitan yang dihadapi manusia dalam menghadapi konflik psikisnya inilah yang akan menjadi ujian bagi keimanannya. Saat dia mampu menyeimbangkan kedua tuntutan tadi sesuai dengan yang diperintahkan, maka kebahagianlah yang akan dicapainya. Namun, jika hanya salah satu tuntutan saja yang dapat dipenuhinya maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam kepribadian individu tersebut.
Saat manusia lebih mengikuti tuntutan nafsu fisiknya, dia lupa akan Tuhannya dan hari akhir. Pada saat seperti itu hidupnya tidak lebih mulia dari binatang bahkan lebih hina dari itu. Mereka memiliki kepribadian yang tidak matang, dan tidak ada bedanya dengan anak kecil yang perhatiannya tertuju pada pemenuhan kebutuhan fisiknya saja (impulsif). Kondisi jiwanya berada pada keadaan nafsu al-ammarah. Seperti yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an,
و ما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي غفور رحيم
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yusuf, 12:53)
Sebaliknya adalah orang yang mampu membersihkan hatinya, mensucikan nafsunya. Sehingga dia mampu memenuhi tuntutan spiritualnya dengan selalu beribadah dalam setiap langkahnya tanpa melupakan pemenuhan tuntutan nafsu fiisknya. Dia mengendalikan seluruh hawa nafsunya dan mengarahkan pemenuhannya sesuai syari’at. Pada saat seperti ini jiwanya berada dalam ketenangan dan mencapai kondisi nafsu al-muthmainnah. Allah berfirman,
يأيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية فادخلي في عبادي وادخلي جنتي
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kau kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoinya, maka masulah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surgaKu” (QS al-Fajr, 89: 27-30)
Di antara kedua kondisi jiwa tersebut, adakalanya pula manusia mengalami kondisi kesadaran akan kesalahannya, sehingga dia mencela perbuatannya yang tunduk pada hawa nafsu dan berusaha untuk bertobat dan minta ampun kepada Allah. Namun dia masih terkadang melakukan hal-hal yang salah. Kondisi manusia seperti ini disebut nafsu al-lawwamah, yaitu jiwa yang penuh penyesalan. Allah berfirman dalam al-Qur’an,
لا أقسم بيوم القيامة ولا أقسم بالنفس اللوامة
“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali diriny sendiri” (QS al-Qiyamah, 75:1-2)
Ketiga kondisi kejiawaan tersebut akan dialami manusia sepanang hidupnya selama dia mengalami konflik dalam kepribadiannya. Bila manusia berhasil menyeim-bangkan kedua tunutan tersebut dan memilih jalan taqwa, maka pribadinya termasuk kategori akhlaq mahmudah. Sedangkan bagi manusia yang tidak berhasil menyeimbangkan keduanya dan memilih jalan fujur, maka pribadinya termasuk kategori akhlaq madzmumah.
Pada dasarnya akhlaq mahmudah menginduk pada beberapa karakter. Menurut Anis Matta  (2001) induk-induk akhlaq tersebut adalah :
·         Cinta kebenaran yang melahirkan jujur, adil, komit dan amanah.
·         Kekuatan kehendak yang menurunkan sifat-sifat, seperti : optimis, inisiatif, tegar, tegas, serius, disiplin, pengendalian diri.
·         Himmah (ambisi) yang tinggi yang melahirkan sifat-sifat seperti : doorngan berprestasi, dinamika, ketegaran (tidak mudah menyerah), harga diri, dan keseriusan
·         Kesabaran melahirkan sifat-sifat seperti : ketenangan, kelembutan, konsistensi, sifat santun, pengendalian diri, dan mampu menjaga rahasia
·         Rasa kasih (rahmah) yang melahirkan sifat-sifat seperti : pemaaf, lembut, empati, penolong, bakti kepada orangtua, musyawarah, silaturahmi, santun kepada orang miskin
·         Naluri sosial yang melahirkan sifat-sifat seperti : bersih hati, kemampuan kerjasama, ukhuwwah, penolong, menutup aurat sesama, dan anti perpecahan.
·         Cinta manusia yang melahirkan sifat-sifat seperti : bersih jiwa, adil, kerjasama, dermawan, keterlibatan emosi dan selalu berkehendak baik
·         Kedermawanan yang melahirkan sifat-sifat seperti : pemurah, itsar, hemat, infaq, harga diri dan ukhuwwah
·         Kemurahan hati melahirkan sifat-sifat seperti : lembut, ridho, luwes, ceria, pemaaf dan menyenangkan orang lain
Akhlaq mahmudah ini merupakan wujud kepribadian lurus dan sehat. Meskipun secara harfiah para ahli bersepakat bahwa tidak ada kepribadian yang sehat. Karena akan selalu ada sisi yang sakit dalam diri manusia. Namun, al-Qur’an banyak menye-butkan ciri-ciri kepribadian yang sehat yang merupakan kepribadian yang terintegrasi, bahagia dan mampu membahagiakan orang lain. Kepribadian ini tercermin dalam sosok pribadi agung yaitu Muhammad Rasulullah e. Allah berfirman,
و إنك لعلى خلق عظيم
“Dan sesungguhnya engkaulah yang memiliki akhlaq yang mulia…” (QS al-Qalam, 68:4)
Sedangkan akhlaq madzmumah merupakan penyakit bagi akhlaq seorang muslim. Menurut Ibnul Qoyyim (Anis Matta, 2001) akar penyakit itu ada dua, yaitu :
·         Penyakit Syubhat; menimpa wilayah akal manusia, sehingga kebenaran menjadi samar dan bercampur dengan kebatilan. Sehingga hilang kemampuan dasar untuk memahami dan memilih. Penyakit ini bermula dari kedangkalan ilmu yang dimiliki yang bersumber dari lemahnya akal seseorang.
·         Penyakit Syahwat; menimpa wilayah hati dan instink manusia. Sehingga dorongan kejahatan mampu mengalahkan dorongan kebaikan. Maka hilanglah kemampuan mengendalikan diri dan kemampuan bertekad dengan kuat. Penyakit ini bermula dari lemahnya kemauan yang didasari kelemahan jiwa seseorang.
Munculnya penyakit ini menutupi akal dan hati manusia sehingga dia tidak mampu melihat kebenaran, tidak mampu memilih dengan benar. Dan saat itulah dorongan kejahatannya akan mengalahkan dorongan kebaikan. 
Pembentukan kepribadian atau akhlaq pada dasarnya bergantung pada kualitas pengalaman hidup yang diperoleh individu sebagai hasil interaksi dirinya dengan pribadi dan lingkungannya. Pengalaman hidup pertama kali diperoleh individu dari lingkungan keluarganya melalui perawatan, arahan dan pendidikan yang diberikan orang tua sebelum dia mengenal dirinya sendiri.
Untuk itu Rasulullah e bersabda,
ما من مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
“Semua anak yang dilahirkan mereka lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang akan merubah (fitrah) tersebut menjadi bersifat Yahudi, Nashrani atau Majusi…” (HR Bukhari Muslim)
Sebagai suatu yang nampak dalam perilaku yang menetap, akhlaq dapat dimiliki individu melalui pembiasaan, arahan dan pendidikan. Oleh karena itu, selain orang tua, masyarakat dan lembaga pendidikan, tingkat kematangan dan kesadaran (awareness) individu juga turut mempengaruhi pembentukan akhlaqnya. Sehingga dengan fitrah yang dimilikinya dia mampu membedakan yang benar dan salah serta memilih di antara keduanya jalan mana yang akan dipilihnya.
Menurut Anis Matta (2001: 56-57) akhlaq tersebut dimiliki dan terbentuk melalui proses yang dijelaskannya sebagai berikut,
“Islam datang membawa nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan; lalu nilai-nilai itu masuk dalam wadah fitrah manusia, berupa ruh dengan dorongan ibadahnya dan jasad dengan dorongan bertindaknya; lalu ada daya dukung lingkungan alam yang siap mewadahi aktivitas yang lahir dari manusia itu; lalu dari sisi manusia terjadilah proses-proses ini;
Ia mengenal dan mengetahui nilai-nilai itu melalui panca inderanya; kemudian akalnya mencoba memahami nilai-nilai itu dan mungkin memilih atau menolaknya; hasil pilihannya itu kemudian turun ke wilayah hati yang akan merasakannya lalu meyakini atau mengingkarinya; jika ia meyakininya maka ia akan menghendakinya, dan kehendak itulah yang turun menjadi tekad setelah ia memutuskan untuk melakukannya; lalu ia akan melakukan keputusan itu, maka lahirlah tindakan dan sikapnya; lalu apa yang kemudian dominan (karena sering terulang melalui kebiasaan) dari tindakan dan sikap itulah yang kita sebut dengan akhlaq; yang terakhir inilah yang akan membentuk kepribadiannya”
Maka akhlaq atau kepribadian merupakan sesuatu yang dinamis dan dapat dirubah atau dibentuk. Oleh karena itu selalu ada kesempatan bagi manusia untuk membentuk pribadinya menjadi akhlaq mahmudah selama dia masih dan terus berusaha untuk mencapainya.

#ODOPfor99days #day20


Kamis, 28 Januari 2016

Bahasa Pertama

Ilutrasi
Betapa senangnya Sholeh, saat kepulangannya disambut dengan celoteh dan gelak tawa si kecil. Rasa lelah dan penat setelah bekerja seharian penuh mendadak hilang. Apalagi saat si kecil 2 tahunnya mulai menyanyi dengan gaya dan lafal yang lucu dan menggemaskan. Padahal anak tetangga yang seusianya belum dapat melakukan itu. Hal ini memberikan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri yang seringkali dirindukan saat dia tidak ada di samping si kecil.

Masa 2 tahun memang merupakan masa yang pesat bagi perkembangan bicara dan berbahasa anak. Banyak kosakata baru yang mulai dapat diucapkan pada masa ini meskipun pelafalannya masih belum jelas dan benar. Sebenarnya perkembangan bahasa sudah dimulai sejak anak lahir. Perkembangan bahasa pada anak dimulai dengan bahasa tangisan, isyarat, kemudian ocehan, dan celoteh. Biasanya saat anak menginjak usia satu tahun anak mulai dapat mengucapkan satu atau dua buah kata sebagai kata pertamanya.

Perkembangan bahasa pada setiap anak akan berbeda tergantung berbagai hal. Menurut para ahli, perkembangan bahasa anak terkait erat dengan kapasitas intelegensi atau kecerdasannya. Namun, rangsangan dan latihan dari lingkungan juga turut mendukung terhadap perkembangan bahasa. Anak yang sering diajak berbicara dan mengobrol, sering mendengarkan orang berbicara cenderung lebih cepat menguasai kemampuan berbicara dibandingkan anak yang tidak mendapatkan rangsangan.

Ajaklah anak untuk ngobrol
Bahasa pertama pada anak merupakan tiruan dari apa yang dia dengar dari lingkungannya. Semakin banyak dan semakin sering anak mendengar, maka akan semakin banyak kata yang dia kuasai. Untuk itu mengajak anak anda berkomunikasi, ngobrol, dan bercerita merupakan salah satu sarana penting dalam mengajarkan anak berbicara.

Berbicara pada anak tidak hanya dilakukan pada anak yang sudah agak besar, namun juga pada bayi yang baru lahir. Tangisan, isyarat, ocehan, serta celoteh bayi merupakan awal dari perkembangan bahasa. Pada masa tersebut bayi sedang belajar mengendalikan suara sehingga menghasilkan bunyi yang berbeda-beda. Dengan rangsangan yang diberikan oleh orangtua lewat obrolan dan komunikasi dengan bayi, maka dapat mempercepat proses belajar dan mendorong munculnya keinginan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Biasanya bayi lebih sering berceloteh saat ada orang yang berceloteh atau mengajaknya berbicara dibandingkan saat bayi sendirian.

Jangan gunakan “bahasa bayi"
Pada masa perkembangan berbicara, orangtua adalah contoh utama dalam berbicara. Oleh karena itu, berbicaralah dengan bahasa yang baik. Sebaiknya orangtua tidak lagi menggunakan “bahasa bayi” saat si kecil sudah mulai dapat mengucapkan beberapa kata. Perkembangan bahasa anak akan terhambat, bila orangtua tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Konsisten dalam menggunakan bahasa
Hal lain yang tidak kalah penting dalam mengajarkan anak berbicara adalah konsistensi penggunaan bahasa. Baik bahasa daerah, bahasa nasional, ataupun bahasa asing yang dijadikan bahasa ibu bagi anak, yang terpenting adalah orangtua konsisten dan berusaha menggunakan bahasa yang baik dan benar. Fenomena yang terjadi pada masyarakat kita (baca: masyarakat sunda), banyak orangtua yang memaksakan anaknya untuk menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa ibu namun dengan logat dan struktur kata bahasa sunda. Kondisi tersebut bisa jadi merupakan salah satu faktor penyebab keterlambatan kemampuan berbicara pada anak.

Jangan paksakan anak
Setiap anak lahir dengan kapasitas dan karakteristik yang unik, sehingga pola perkembangan dan pertumbuhannya pun cenderung unik. Terdapat pola umum dalam perkembangan, namun tidak berarti setiap anak harus dapat mengikuti pola tersebut. Ada anak yang cenderung mendahulukan perkembangan kemampuan psikomotorik, seperti berjalan. Ada pula yang cenderung mengutamakan perkembangan biologis, seperti pertumbuhan gigi dan tulang, dan ada pula yang cenderung mengutamakan perkembangan kognitif, seperti berbicara.

Untuk itu orangtua tidak perlu terlalu merasa takut dan khawatir bila anaknya mengalami keterlambatan dalam berbicara. Yang paling penting sebagai orangtua, kita terus memberikan rangsangan dan kesempatan. Jangan selalu membanding-bandingkan anak anda dengan anak yang lain, apalagi memaksanya untuk menguasai keterampilan tertentu. Hal tersebut akan berdampak pada kondisi psikologis anak yang merasa tidak diterima apa adanya oleh lingkungannya.

#ODOPfor99days
#day19

Rabu, 27 Januari 2016

Bertanya Untuk Belajar; Belajar Untuk Bertanya

Pernahkah anda mendengar sebuah pepatah yang mengatakan “malu bertanya sesat di jalan”. Sebuah nasehat berharga yang menganjurkan kita untuk bertanya, mengemukakan kepenasaranan dan menyatakan ketidaktahuan. Bertanya memang tidak sulit, namun juga tidak begitu mudah. Buktinya banyak orang yang bingung saat dia harus bertanya. Seakan mulut terkunci untuk mengatakan sesuatu atau memang tidak terbersit satu ide pun untuk mengemukakan sesuatu.
Saat kita hendak bertanya sering muncul perasaan takut dan gelisah. Kita merasa takut ditertawakan atau bahkan diejek karena pertanyaan kita jelek. Padahal setelah kita mencoba untuk bertanya, semuanya lancar-lancar saja, tak ada yang menertawakan kita dan kekhawatiran kita tidak beralasan. Hal itu wajar, jika kemudian tidak membuat kita rendah diri, namun akan berbahaya jika kemudian kita membesar-besarkan rasa takut tersebut, karena akan membuat kita takut untuk bertanya selamanya.
Ketakutan untuk bertanya dapat diakibatkan rendahnya rasa percaya diri seseorang dan besarnya rasa curiga terhadap orang lain. Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai communication apprehension (hambatan komunikasi) dan berkaitan dengan pengaruh self-concept (konsep diri) seseorang. Maka, untuk mengatasinya kita perlu mengkaji kembali self-concept kita. Tanamkan dalam diri bahwa kita mampu melakukan apa pun, kemudian atasi dengan meyakini bahwa diri kita sama dan setara dengan orang lain. Hindarkan perasaan curiga terhadap orang lain. Bukankah Rasulullah e selalu mengajarkan untuk selalu husnudzdzon ?.
Imam Syaf’I -seorang ulama- pernah berkata “Bertanya adalah kunci ilmu”, artinya dengan mau bertanya pintu ilmu akan mudah terbuka dan kita akan mudah mendapatkan ilmu yang kita inginkan. Oleh karena itu, bertanya merupakan salah satu teknik belajar yang cukup efektif. Salah satu metode belajar yang menggunakan teknik bertanya adalah metode tanya jawab dan diskusi. Bedanya jika pada metode tanya jawab, komunikasi yang terjadi bentuknya dua arah. Sedangkan pada metode diskusi, komunikasi yang terjadi berbentuk silang arah.
Bertanya pada dasarnya adalah mengemukakan rasa ingin tahu dan menyatakan ketidaktahuan kita. Bertanya juga merupakan salah satu bentuk eksplorasi pengetahuan. Oleh karena itu bertanya dilakukan dalam wawancara dan observasi. Dengan memberikan pertanyaan kepada narasumber yang kita wawancarai atau kita observasi, kita menjadi tahu apa yang mulanya tidak kita tahu.
Begitu banyak manfaat dari bertanya, karena ternyata dengan bertanya kita menjadi tahu, dan bila kita tahu artinya kita mempunyai ilmu. Namun, perlu diingat  bertanya pun harus memakai ilmu, artinya ada beberapa aturan dalam bertanya yang harus kita perhatikan. Karena meskipun hal yang mudah, bertanya memerlukan keterampilan yang pada hakikatnya berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi. Di antara hal-hal yang harus diperhatikan itu adalah :

1.      Perhatikan penggunaan bahasa
Gunakan bahasa yang lugas dan tegas dalam bertanya. Jangan terlalu bertele-tele, karena akan menimbulkan bosan bagi orang yang diberi pertanyaan. Selain itu perhatikan pula jenis bahasa dan kata-katanya, jika orang yang kita tanya menggunakan bahasa yang baku, resmi dan ilmiah, jangan sekali-kali kita menggunakan bahasa “gaul”. Perhatikan pula tatakrama dalam berbahasa, karena tegas bukan berarti harus keras.

2.      Lihat tempat, situasi dan kondisinya
Pernah suatu ketika, saat Rasulullah e sedang mengajar shahabatnya dalam satu majelis. Tiba-tiba datanglah seorang Arab gunung, kemudian dia mengemukakan sebuah pertanyaan. Namun, Nabi tidak menjawabnya dan terus melanjutkan perkataannya. Barulah setelah Rasul e selesai menjelaskan, beliau menjawab pertanyaan orang tersebut.
Dari peristiwa itu, dapat kita simpulkan bahwa saat kita ingin bertanya kita harus memperhatikan tempat, situasi dan kondisi. Saat itu Rasulullah e sedang berada di majelis ilmu dan sedang memberikan penjelasan, oleh karena itu beliau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Barulah setelah beliau selesai, beliau menjawabnya. Hal ini beliau lakukan, karena jika beliau menjawab pertanyaan di tengah penjelasan, maka akan terjadi ketidakjelasan terhadap ilmu yang sedang disampaikannya. Oleh karena itu, beliau memilih untuk melanjutkan dulu penjelasannya sebelum beliau menjawab pertanyaan.

3.      Ikuti aturan yang telah ditetapkan
Setiap orang memilki karakteristik sendiri, begitu juga dengan seorang guru. Adakalanya seorang guru itu memberikan aturan kepada muridnya untuk bertanya setelah beliau selesai menjelaskan. Namun, ada pula yang membolehkan kita untuk bertanya dengan memotong penjelasannya. Hal ini penting untuk kita hargai dan ikuti, karena hal itu termasuk kepada adab dalam menghormati guru.
Oleh karena itu, Nabi Hidlir menghentikan perjalanannya dengan Nabi Musa, saat Nabi Musa tidak dapat mengikuti aturan yang telah ditetapkannya untuk tidak bertanya terhadap apa yang akan dilakukannya. Namun, rasa penasaran dan keingintahuan Nabi Musa telah memaksanya untuk melanggar aturan itu. Sehingga akhirnya Nabi Hidlir menghentikan perjalanan dan memilih berpisah dengan Nabi Musa. Padahal jika Nabi Musa tetap bersama Nabi Hidir banyak ilmu yang dapat dipetiknya.

4.      Ingatlah untuk bertanya banyak dan bukan banyak bertanya
Bertanyalah sebanyak mungkin ilmu yang ingin kita ketahui saat kita memiliki kesempatan. Namun, jangan banyak bertanya, artinya banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak mengandung ilmu dan bermaksud menghindari sesuatu yang lebih penting. Ingatlah bagaimana nasib Bani Israil yang terlalu banyak bertanya, saat Nabi Musa memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi. Akhirnya mereka sendiri yang kesulitan mencari sapi itu, karena ciri-cirinya yang sulit dicari. Hal ini diakibatkan mereka banyak bertanya dengan maksud menghindari perintah Nabi Musa. Mereka berharap Nabi Musa tidak bisa menjawab pertanyaan mereka dan akhirnya menyerah. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.


Bertanya bukanlah hal yang sulit, jika kita mau mulai membiasakannya dari sekarang. Karena bertanya merupakan salah satu teknik belajar yang cukup efektif. Untuk itu, bertanyalah selagi masih ada kesempatan !!

#ODOPfor99days
#day18

Selasa, 26 Januari 2016

Disiplin Untuk Anak

Mukaddimah

Berbuat salah bagi anak bukan merupakan suatu perbuatan yang disengaja. Seringkali mereka melakukan berbagai kesalahan dilatarbelakangi oleh keinginan mereka mendapatkan perhatian yang lebih dari orang-orang di sekitarnya. Belum sempurnanya tingkat perkembangan penalaran, emosi serta sosial anak merupakan salah satu faktor mengapa anak sering berperilaku di luar norma yang ada. Berangkat dari hal itu, penanaman disiplin terhadap anak menjadi salah satu tugas utama bagi orangtua.

Arti Penting Disiplin Untuk Anak
Menurut E.Hurlock (1980) ada beberapa kebutuhan pada masa anak yang dapat diisi oleh disiplin yang diterapkan pada anak, yaitu :
1.   Disiplin dapat memberi anak rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
2.  Disiplin membantu anak menghindarkan diri dari rasa bersalah, rasa malu akibat berbuat salah, serta perasaan buruk lain yang dapat berpengaruh pada tumbuh kembangnya. Karena disiplin memungkinkan anak hidup menurut standar yang disetujui oleh kelompoknya.
3.  Dengan disiplin, anak belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan. Hal ini sangat penting bagi penyesuaian kepribadiannya.
4.  Disiplin membantu anak mengembangkan “kata hati” dalam mengambil keputusan dan mengendalikan perilakunya.

Unsur-unsur Disiplin
Tiga hal penting yang terkait dengan disiplin adalah : (a) peraturan; (b) hadiah/ganjaran; dan (c) hukuman.
أدبو أولادكم على ثلاث خصال حب نبيكم و حب ال بيته و تلاوة القران (رواه الطبرانى)
“Didiklah anak-anakmu atas tiga hal, mencintai Nabi kalian, mencintai ahli baitnya dan membaca al-Qur’an” (HR Thabrani).
أتقلبون صبيانكم؟ فما نقلبهم فقال النبي : أو أملك لك أن نزع الله من قبلك الرحمة؟ (رواه البخارى عن عائشة)
“Apakah engkau suka menciumi anak-anakmu? Jawab mereka: Kami tidak melakukan hal itu. Nabi bersabda: apakah kalian tidak takut Allah mencabut rasa kasih saying dari hatimu?” (HR Bukhari dari “Aisyah ra).

Menyikapi Kesalahan Anak
Yang paling penting dalam menyikapi kesalahan anak adalah sikap bijaksana dari orangtua. Banyak dari kesalahan anak dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan serta keinginan untuk diperhatikan. Belum sempurnanya tingkat perkembangan penalaran, emosi serta sosial anak merupakan salah satu faktor mengapa anak sering berperilaku di luar norma yang ada. Islam selalu mengajarkan kita untuk memperbaiki kesalahan diri sendiri maupun orang lain secara bertahap, ‘ala qadri ‘uqulihim (sesuaikan dengan kapasitas cara berpikirnya). Ada beberapa cara yang dilakukan Rasulullah maupun shahabatnya dalam memperbaiki kesalahan, yaitu :
a.   Memberikan arahan; Umar bin Abi Salmah saat masih kecil pernah makan bersama Nabi saw. Tangannya bergerak ke sana kemari di atas hidangan, lalu Rasulullah mengarahkan agar dia makan dengan tangan kanan, dan makan apa yang ada di dekatnya.
b.   Kata-kata yang halus; Rasulullah membawa air, lalu beliau meminumnya. Di sebelah kanan ada seorang anak bernama Abdullah bin Abbas dan di kiri ada beberapa orang yang sudah tua. Lalu beliau berkata kepada anak tersebut, “bolehkah aku memberikan air ini untuk mereka?” kalimat ini memberi pendidikan pada anak untuk beradab mendahulukan yang lebih tua.
c.   Memberi isyarat; Rasulullah sedang bersama al-Fadhl, lalu dating seorang perempuan dari Khats’am. Al-Fadhl memperhatikan wajah perempuan yang memag cantik tersebut. Lalu Rasulullah memalingkan wajah al-Fadhl.
d.   Memberi teguran; Abu Dzar mencaci seorang lelaki dengan mengatakan “Hai anak orang hitam!” Lalu Rasulullah menegurnya.
e.   Mendidik dengan ditinggalkan; Seseorang melempar batu dengan telunjuk dan ibu jari (khadzaf). Lalu Abu Sa’id menegurnya, namun dia melakukannya lagi, maka Abu Sa’id pun meninggalkannya sambil berkata, “Aku tidak akan berbicara denganmu selamanya”.
f.   Memberi pukulan; Ini adalah langkah terakhir setelah semua upaya dilakukan.
مروا أولادكم بالصلاة و هم أبناء سبع سنين واضربوهم و هم أبناء عشر   (الحاكم)
      “Perintahkanlah anakmu shalat saat mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka saat usia mereka 10 tahun” (HR Hakim).
Pemberian pukulan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut,
·         Dilakukan sebagai alternatif terakhir.
·         Tidak dilakukan saat kemarahan sedang memuncak atau diiringi dengan kebencian.
·         Tidak memukul bagian kepala, wajah dan dada.
·         Tidak memukul anak sebelum berusia 10 tahun.
Allah berfirman dalam QS al-Baqarah ayat 44
أتأمرون الناس بالبر و تنسون أنفسكم و أنتم تتلون الكتاب ...
“Mengapa kalian memerintahkan orang lain untuk berbuat baik tapi kalian sendiri melupakan diri kalian (untuk berbuat baik), padahal kamu yang membaca isi al-Qur’an…”
Rasulullah bersabda,
ما من  مولود  إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه و ينصرانه و يمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء (رواه مسلم عن أبي هريرة)
“Tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadan suci, maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi, sebagaimana halnya binatang lahir dalam keadan sempurna, adakaah kau melihat cacat padanya” (HR Muslim Dari Abu Hurairah). 

Beberapa Tips Mengenai Disiplin
·         Tidak perlu membuat terlalu banyak aturan. Aturan untuk tidak bermain di jalan itu penting, tapi keharusan makan dengan baik dan rapi, tidak perlu.
·         Bersikap tegas. Arti tegas menunjukkan perhatian dan kasih saying daripada pantulan kecemasan. Bagaimanapun juga anak perlu tahu bahwa orangtua terkadang memiliki aturan yang tidak bias diganggu gugat.
·         Konsisten dalam bereaksi. Sekali kita menetapkan aturan, peganglah terus. Konsisten juga berarti perlunya reaksi yang sama antara kedua orangtua, bahkan lebik baik lagi dari seluruh keluarga.
·         Sikap jujur itu perlu. Bila kita tidak bias memenuhi permintaan anak karena kita lelah atau tidak mampu, katakan sejujurnya. Dengan cara ini, lama kelamaan anak akan paham bahwa tidak setiap keinginannya dapat terpenuhi dengan baik.
·         Jangan menawarkan tingkah laku yang diinginkan pada anak. “Kamu mau makan?” atau “Mau pakai baju sekarang?” hampir dipastikan jawaban anak adalah tidak. Setelah itu orangtua akan kewalahan membujuk anak. Bila tiba waktu makan, bawalah anak untuk makan. Bila dia sedang asyik dengan mainannya ijinkan dia tetap memainkannya sambil makan. Hal ini membuat anak merasa dihargai.
·         Jangan menakut-nakuti anak, hanya untuk membuatnya menurut. Berilah anak alasan sederhana dan masuk akal mengapa mereka tidak boleh melakukan sesuatu.
·         Perhatian anak mudah teralihkan, gunakan kesempatan ini. Bila anak sedang bermain dengan benda berbahaya, pisau misalnya. Alihkan perhatiannya pada benda-benda yang menarik dan ambillah pisaunya. Karena terkadang teguran saja tidak cukup.
·         Berilah pujian pada tingkah laku yang diinginkan.
·         Jangan memaksa anak melakukan tingkah laku yang tidak diinginkannya. Misalnya memberi salam atau bermain dengan anak yang baru dikenalnya. Cara ini hanya akan membuat anak makin menarik diri.

Sumber Bacaan :
  1. Hurlock, Elizabeth B. 1980. Perkembangan Anak. Jakarta : Penerbit Erlangga.
  2. Rasyidin, Dedeng. 2006. Pendidikan Efektif Dalam Keluarga. Artikel dalam Risalah edisi Februari 2006.
  3. Seri Ayahbunda. T.th. 24 Bulan Pertama Dalam Kehidupan Anak. Jakarta : Gaya Favorit Press.
  4. Zakaria, Aceng. 2004. Tarbiyah An Nisa. Garut: IbnAzka Press
#ODOPfor99days
#day17

Kamis, 21 Januari 2016

Stimulasi Membaca dan Menulis Pada Anak (Part 4)

Lanjutkan Dengan Belajar Menulis
Sama seperti pada stimulasi membaca, stimulasi menulis pun akan lebih baik jika dilakukan sedini mungkin. Stimulasi belajar menulis diawali dengan stimulasi motorik halus. Anda dapat membaca lebih lanjut mengenai stimulasi motorik halus pada bayi di sini. dan stimulasi motorik halus pada anak usia 2-3 tahun di sini.

Seperti yang telah dipaparkan dalam tulisan yang lalu, belajar menulis harus diorientasikan bukan hanya pada keterampilan menulis huruf dan kata dengan rapih. Namun, lebih luas dari itu adalah untuk menuangkan ide serta mempengaruhi orang lain.

Untuk itu materi latihan menulis tegak bersambung merupakan salah satu materi yang harus dikaji ulang fungsinya. Karena tidak siginifikan dengan kebutuhan optimalisasi perkembangan anak. Jika orientasinya latihan motorik halus (fine motor skill). Maka ada banyak stimulus lain yang lebih bermakna dibandingkan hal tersebut.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan dalam stimulasi menulis pada anak adalah :
1. Menulis pesan
Mulailah belajar menulis dengan belajar menyampaikan pesan melalui tulisan. Gantung kertas catatan kecil di pintu rumah atau di pintu kamar sebagai saran menuliskan pesan. Misalnya saat orangtua akan pergi, tuliskan pesan kepada anak-anak yang mengingatkan mereka akan waktu sholat serta makan siang.
2. Menceritakan kembali isi buku
Ajak anak-anak untuk menceritakan kembali buku kesukaannya. Lakukan dengan dialog dua arah. Awalnya proses menceritakan kembali dilakukan secara lisan. Kami menamainya tahap menulis lisan. Ajak mereka mengungkapkan hal-hal yang menarik menurut mereka dari buku tersebut. Setelah tahap menulis lisan ini lancar, barulah beranjak pada menulis tulisan.
Pada anak-anak kami, biasanya mereka mulai dengan menuliskan ulang isi cerita di bukunya. Selanjutnya mereka belajar menuliskan hal-hal yang menarik menurut mereka. Berlanjut pada komentar mereka tentang buku tersebut serta hikmah yang bisa mereka petik.
3. Menceritakan pengalaman pribadi
Setelah anak-anak bisa membaca, berikan mereka buku catatan harian (diary). Ajak mereka menceritakan pengalaman serta perasaan mereka dalam buku itu.
4. Menulis imajinasi
Anak-anak adalah seorang pemimpi ulung. Imajinasi mereka seringkali sampai di luar nalar kita. Bahkan pada beberapa anak, mereka sampai memiliki teman khayalan.
Saat anak-anak menceritakan imajinasi mereka tentang apa pun, ajak mereka untuk menuliskannya. Awalnya orangtua yang menuliskannya. Setelah itu perlihatkan kepada anak-anak. Biarkan mereka merasakan keseruan saat imajinasi mereka dituangkan dalam tulisan. Selanjutnya ajaklah mereka menuliskannya secara mandiri.
#ODOPfor99days #day15

Stimulasi Membaca dan Menulis Pada Anak (Part 3)

Tahapan Belajar Membaca
Pengalaman pra membaca yang baik akan menumbuhkan minat dan mengembangkan reading readiness pada anak. Karena anak-anak itu unik, maka tumbuhnya kesiapan itu berbeda-beda. Jangan mengahalang-halangi anak belajar membaca jika kesiapan itu ternyata muncul sebelum dia berusia 5 tahun. Juga jangan merasa khawatir, jika kesiapan itu ternyata belum muncul padahal anak sudah berusia 7 tahun. Lakukan terus kegiatan-kegiatan memberikan pengalaman pra membaca tanpa target usia.
Berdasarkan pengalaman kami, pemberian pengalaman pra membaca selanjutnya mendorong anak memiliki kemampuan membaca melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Membaca gambar
Anak-anak yang terbiasa melihat label tulisan pada benda-benda di sekitarnya (baca: Immersion) selanjutnya akan mulai membaca tulisan pada setiap gambar atau benda yang mereka kenal. Jadikan kesenangan ini sebagai sebuah permainan.
Ajak anak-anak bermain membaca kemasan-kemasan makanan atau minuman yang mereka kenal saat mereka belum bisa membaca. Minta mereka untuk membacanya. Pasti mereka akan mengatakan sesuai dengan nama yang mereka kenal. Contohnya, saat anak kami diminta membaca tulisan di sepeda motor ayahnya dan tulisan di sepeda motor kakeknya. Maka dia akan menjawab yang satu "motor ayah" dan yang satu lagi "motor aki". Padahal tulisan di kedua sepeda motor itu sama, yaitu HONDA.
Ini menunjukkan tahapan membaca pada anak itu diawali dengan membaca gambar/benda. Saat itu dorong anak untuk membaca tulisan pada gambar-gambar atau benda-benda di sekitarnya. Hal ini untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya. Dan ini kami sebut tahapan pertama kemampuan membaca pada anak-anak.
2. Mengenal huruf
Tahap selanjutnya adalah mengenal huruf. Anak-anak akan mulai bertanya tentang huruf apa ini, atau dibaca apa ini saat mereka menemukan tulisan atau buku yang mereka sukai. Ini merupakan tahapan selanjutnya pada kemampuan membaca anak-anak. Untuk itu, luangkan waktu untuk menjawab langsung pertanyaan anak tersebut. Karena itu merupakan moment AHA yang akan terus menumbuhkan minat serta kesiapan anak belajar membaca.
3. Membaca suku kata
Banyak ahli yang mengatakan bahwa sebaiknya mengajarkan membaca pada anak tidak dimulai dengan mengenalkan huruf, tapi dimulai dengan mengenalkan suku kata. Namun, berbeda dengan pendapat tersebut, pada anak-anak kami tahapan belajar membaca semuanya dimulai dengan mengenal huruf terlebih dahulu. Menurut hemat kami hal ini tidak mengapa selama itu tidak dikenalkan secara formal kepada anak.
4. Membaca buku
Setelah mengenal cara membaca suku kata, anak-anak akan langsung memulai petualangan belajar membacanya melalui buku. Biasanya saat anak-anak mulai mengenal suku kata, kami menyediakan buku belajar membaca seperti yang ada di sekolah-sekolah formal. Namun, belum juga buku itu selesai dipelajari anak-anak akan langsung mempraktekkan pengetahuannya melalui buku kesukaannya. Hingga mereka lancar membaca, buku belajar membaca itu tidak pernah dipelajari hingga selesai.
#ODOPfor99days #day14

Rabu, 20 Januari 2016

Stimulasi Membaca dan Menulis Pada Anak (Part 2)

Pre Reading Experience
Pengalaman pra membaca (pre reading experience) adalah upaya orangtua atau guru untuk mengajak anak menikmati dunia membaca sehingga tumbuh ketertarikan akan membaca dalam diri anak. Upaya ini dapat dilakukan sedini mungkin, bahkan sejak anak masih bayi. Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam pre reading experience.
1. Reading aloud
Yaitu kegiatan membacakan buku untuk anak. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan anak merasa senang dan tertarik dengan buku. Sehingga saat mereka sudah bisa membaca sendiri, buku menjadi sahabat mereka.
Sebaiknya kegiatan ini dilakukan secara konsisten setiap hari. Ciptakan suasana menyenangkan saat membaca buku dengan intonasi dan gaya membaca yang baik.
2. Flashcard
Yaitu mengenalkan anak dengan dunia membaca melalui kartu-kartu kata yang disusun dengan huruf besar dan warna mencolok. Kartu-kartu tersebut berisi kata-kata sehari-hari yang akrab di telinga anak-anak.
Seperti namanya, kartu-kartu ini diperlihatkan kepada anak-anak hanya dalam waktu 1 detik. Dilakukan secara konsisten dan lebih dini akan lebih baik hasilnya.
3. Immersion
Yaitu metode yang membawa anak masuk dalam dunia tulisan. Metode ini dilakukan dengan menuliskan nama benda-benda juga tempat di sekitar anak dan menempelkannya pada benda atau tempat tersebut. Metode ini bertujuan agar anak terpapar dengan tulisan di sekitarnya dan terbiasa untuk membaca.
4. Membuat perpustakaan di rumah
Siapkan rak khusus untuk buku yang disimpan di satu tempat khusus di dalam rumah. Kita sebut ruangan tersebut perpustakaan. Rancang ruanganna menjadi menarik dan menyenangkan untuk anak.
5. Jalan-jalan ke toko buku atau perpustakaan
Jadikan salah satu kegiatan liburan atau family time di keluarga kita adalah jalan-jalan ke toko buku atau perpustakaan. Jadikan juga membeli buku atau jalan-jalan ke perpustakaan adalah salah satu hadiah yang bisa didapatkan anak-anak saat berhasil melakukan sebuah kebaikan.
6. Menempel poster 
Jadikan poster huruf, suku kata atau poster lainnya yang ada kaitannya dengan belajar membaca sebagai salah satu hiasan dinding di rumah. Tempelkan poster-poster tersebut di tempat yang terjangkau oleh penglihatan anak-anak.

Metode serta kegiatan apa pun yang dilakukan, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memberikan pengalaman pra membaca, yaitu :
1. Sabar dan istiqomah
Dua kata ini merupakan kunci utama dalam upaya mendidik anak, termasuk dalam memberikan pengalaman pra membaca. Sikap sabar salah satunya ditandai dengan sikap pantang menyerah dan tidak terburu-buru ingin mendapatkan hasil. Karena setiap anak itu unik. Mereka memiliki ritme dan pola yang berbeda satu sama lain. Jangan pernah mengatakan bahwa metode yang kita lakukan tidak berhasil. Karena tugas kita adalah berusaha, sedangkan hasilnya ada di tangan Allah.
2. Menyenangkan
Dunia anak adalah dunia bermain. Ciptakan kegiatan-kegiatan dalam pengalaman pra membaca ini menjadi seasyik bermain. Sehingga tumbuh minat dan ketertarikan anak akan dunia membaca
3. Menghadirkan diri secara utuh
Saat memberikan stimulasi pada anak, hadirkan diri dan pikiran kita utuh bersamanya. Jangan simpan pikiran kita pada pekerjaan yang belum selesai, atau pesan yang belum dibalas. Karena kehadiran kita secara utuh akan besar pengaruhnya pada proses stimulasi yang kita lakukan, walau bentuknya sederhana.
4. Menjadi teladan
Mendidik paling efektif jika dilakukan melalui teladan. Berikan contoh yang baik dengan secara demonstratif meluangkan waktu membaca buku di depan anak dengan penuh kesenangan.
Bersambung...
#ODOPfor99days #day13

Selasa, 19 Januari 2016

Stimulasi Membaca dan Menulis Pada Anak (Part 1)

Orientasi Belajar Membaca
Membaca dan menulis merupakan dua kemampuan dasar di samping berhitung yang harus dimiliki seorang anak. Kemampuan membaca dan menulis merupakan salah satu modalitas dalam belajar. Untuk itu dua jenis kemampuan ini seringkali menjadi perhatian orangtua yang memiliki anak usia pra sekolah. Banyak di antara mereka berharap agar di usia sekolah anaknya sudah memiliki dua keterampilan ini.
Perdebatan mengenai kapan sebaiknya mengajarkan membaca dan menulis pada anak, hingga hari ini belum juga usai. Banyak para ahli menyatakan dampak negatif mengajarkan membaca dan menulis secara formal pada anak usia pra-sekolah. Namun, seolah tidak menggubris pendapat tersebut. Hingga hari ini masih banyak sekali TK-TK dan yang sejenisnya melakukan hal itu. Alasannya, tuntutan pra syarat masuk sekolah dasar.
Terlepas dari perdebatan tersebut, jika membaca buku "Membuat Anak Gila Membaca"-nya Ust. M. Fauzil Adhim, kita akan digiring pada pemahaman bahwa orientasi utama dari mengajarkan membaca pada anak bukan sampai pada BISA, tapi pada SUKA bahkan GILA membaca. Karena membaca menurut beliau bukan hanya sarana menggali informasi. Namun, merupakan sarana utama untuk mengenal Rabb. Sebagaimana dinyatakan dalam wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
"Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Bacalah! Dan Tuhanmu yang Maha Mulia..." (QS al-'Alaq ayat 1-2)
Beliau menegaskan bahwa ayat ini diturunkan pada zaman Jahiliyyah. Dimana orang-orang di zaman itu bukanlah orang yang tidak memiliki ilmu. Namun, mereka tidak mampu mengeratkan keilmuannya dengan keimanan. Sehingga turunnya ayat ini, mewajibkan kita membaca dan mencari ilmu dengan tujuan mengokohkan bangunan iman dalam dada kita.
Dengan munculnya berbagai metode, strategi serta sarana belajar membaca. Kini banyak anak yang bisa membaca pada usia dini. Lantas, apakah saat mereka bisa membaca, mereka pun suka membaca? Jawabannya belum tentu. Ketika itu terjadi apakah tujuan membaca sebagai modal belajar dan mencari ilmu menjadi tercapai?
Jika pembelajaran membaca hanya diorientasikan pada bisa membaca. Akhirnya anak-anak pun digegas untuk bisa membaca. Hasilnya setengah matang, bahkan mentah. Mereka mungkin bisa membaca di usia dini, namun tak sedikit diantara mereka yang akhirnya tidak suka bahkan benci dengan dunia membaca.
Dalam teori perkembangan dikenal sebuah formula HET yang merupakan singkatan dari Heredity (bawaan), Environment (lingkungan), dan Time (kematangan). Formula ini menjelaskan bahwa perkembangan itu dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu pengaruh bawaan yang diturunkan secara genetik,  pengaruh lingkungan tempat individu itu berkembang, serta pengaruh kematangan baik fisik maupun psikis. Ketiga faktor tersebut memiliki peran yang seimbang dalam menentukan pola perkembangan seseorang.
Demikian pula pada belajar membaca. Selain kecerdasan sebagai faktor H dan pembelajaran sebagai faktor E, dibutuhkan pula kesiapan sebagai faktor T. Kesiapan  membaca (reading readiness) akan memunculkan minat dan ketertarikan anak untuk belajar membaca. Untuk menumbuhkannya, maka sepatutnya yang dilakukan pada anak usia dini bukanlah belajar membaca, tapi memberikan pengalaman pra membaca (pre reading experience)
Bersambung....
#ODOPfor99days #day12