Kepribadian
(personality) diartikan Allport sebagai “The dynamic organization
within the individual of those psycho-physical systems that determine his
unique adjustment to his environment”. Dalam Islam kondisi tersebut dapat dimasukkan dalam terminologi
”Akhlaq”. Menurut al-Jurjany dalam at-Ta’rifat akhlaq adalah,
عبارة عن هيئة للنفس راسخة تصدر عنها الأفعال بسهولة و يسر من
غير حاجة إلى فكر و روية
“Gambaran kondisi jiwa yang kuat dan dapat melahirkan perilaku
dengan cara yang mudah tanpa membutuhkan kepada pemikiran dan penela’ahan”
Dalam penjelasan selanjutnya al-Jurjany mengatakan bahwa
perilaku yang muncul dari individu dapat dikategorikan akhlaq ketika sudah
melekat menjadi sifat dan tabi’at sehingga mudah untuk mengamalkannya. Sehingga
seseorang tidak dapat dikatakan penyabar, ketika kesabaran itu muncul karena
keterpaksaan atau hanya pada situasi tertentu. Namun apabila kesabaran tersebut
sudah menjadi tabi’at dan kebiasaannya yang melekat, barulah hal itu dapat
dikategorikan sebagai akhlaq.
Untuk itu kepribadian dalam Islam merupakan perilaku
menetap yang lahir dari individu dan terbentuk melalui pembiasaan, pendidikan
dan pelatihan. Sehingga seluruh kehidupan manusia dipandang sebagai suatu
proses pendidikan panjang yang akan membentuk akhlaqnya. Dan Islam datang
sebagai sarana untuk mengarahkan akhlaq tersebut agar menjadi akhlaq yang
lurus. Seperti yang diungkapkan oleh Nabi e dalam
haditsnya,
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan
akhlaq” (al-Hadits)
Akhlaq dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua, yaitu akhlaq
fitriyah dan akhlaq muktasabah. Akhlaq fitriyyah adalah kepribadian
yang bersifat bawaan dan melekat dalam diri individu sebagai potensial
ability yang harus dikembangkan. Sedangkan akhlaq muktasabah adalah
kepribadian individu yang lahir sebagai perolehan dari pendidikan, latihan,
pengaruh lingkungan alam dan pengaruh sosial-budaya. Hal ini diungkapkan pula
oleh para ahli psikologi kontemporer yang meyakini bahwa kepribadian individu
merupakan akumulasi dari sifat bawaan dan pengaruh lingkungan yang diterimanya.
Oleh karena itu, kepribadian atau akhlaq dalam Islam dipandang dinamis.
Meskipun merupakan perilaku yang sudah menetap dan menjadi tabi’at, namun
akhlaq tetap dapat dibentuk dan dirubah sesuai dengan pengaruh yang
diterimanya.
Akhlaq
yang berwujud perilaku nyata yang mencerminkan kepribadian individu merupakan
akumulasi dari iman sebagai keyakinan dan keteguhan hati dengan ‘amal
yang berupa perilaku nyata. Untuk itu Allah I selalu menggandengkan kata iman dengan ‘amal sholeh dalam
firman-Nya untuk memperlihatkan karakteristik individu yang diharapkan.
Sebagai
suatu perilaku, wujud akhlaq terbagi pada dua macam manifestasi, yaitu akhlaq
mahmudah (akhlaq terpuji) dan akhlaq madzmumah (akhlaq tercela).
Dengan potensi fujur dan taqwa serta kebebasan memilih yang
dimiliki manusia, mereka berkesempatan untuk memiliki kedua jenis akhlaq
tersebut.
Manusia
dalam kepribadiannya memiliki dua karakteristik yang memerlukan keseimbangan.
Karakteristik pertama adalah karakteristik hewani yang menuntut dirinya untuk
memenuhi kebutuhan dan nafsu fisik. Sedangkan karakteristik yang kedua adalah
karakteristik ta’at seperti malaikat yang menuntut dirinya untuk senantiasa
menyembah dan menyerahkan diri pada satu Dzat yang Maha Agung.
Kedua
karakteristik ini memerlukan pemenuhan dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sehingga seluruh kehidupan manusia merupakan proses untuk menyeimbangkan-nya
menjadi satu kepribadian yang lurus dan mantap. Adakalanya manusia ditarik oleh
kebutuhan nafsu fisiknya dan adakalanya dia pun ditarik oleh kebutuhan
spiritualnya. Sehingga akan terjadi tarik menarik yang dapat menimbulkan
konflik psikis dalam diri manusia. Kondisi tarik menarik ini dijelaskan Allah
dalam al-Qur’an,
و أما من خاف مقام ربه و نهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي
المأوى
“ Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya)” (QS an-Nazi’at, 79:40)
Kalimat “menahan diri” memperlihatkan adanya satu
konflik dan perjuangan yang terjadi dalam diri manusia sebelum mereka kemudian
menentukan pilihannya. Dan kesulitan yang dihadapi manusia dalam menghadapi
konflik psikisnya inilah yang akan menjadi ujian bagi keimanannya. Saat dia
mampu menyeimbangkan kedua tuntutan tadi sesuai dengan yang diperintahkan, maka
kebahagianlah yang akan dicapainya. Namun, jika hanya salah satu tuntutan saja
yang dapat dipenuhinya maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam kepribadian
individu tersebut.
Saat manusia lebih mengikuti tuntutan nafsu fisiknya, dia
lupa akan Tuhannya dan hari akhir. Pada saat seperti itu hidupnya tidak lebih
mulia dari binatang bahkan lebih hina dari itu. Mereka memiliki kepribadian
yang tidak matang, dan tidak ada bedanya dengan anak kecil yang perhatiannya
tertuju pada pemenuhan kebutuhan fisiknya saja (impulsif). Kondisi
jiwanya berada pada keadaan nafsu al-ammarah. Seperti yang difirmankan
Allah dalam al-Qur’an,
و ما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي
غفور رحيم
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Yusuf, 12:53)
Sebaliknya adalah orang yang mampu membersihkan hatinya,
mensucikan nafsunya. Sehingga dia mampu memenuhi tuntutan spiritualnya dengan
selalu beribadah dalam setiap langkahnya tanpa melupakan pemenuhan tuntutan
nafsu fiisknya. Dia mengendalikan seluruh hawa nafsunya dan mengarahkan
pemenuhannya sesuai syari’at. Pada saat seperti ini jiwanya berada dalam
ketenangan dan mencapai kondisi nafsu al-muthmainnah. Allah berfirman,
يأيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية فادخلي في
عبادي وادخلي جنتي
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kau kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhoinya, maka masulah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu dan
masuklah ke dalam surgaKu” (QS al-Fajr, 89: 27-30)
Di antara kedua kondisi jiwa tersebut, adakalanya pula
manusia mengalami kondisi kesadaran akan kesalahannya, sehingga dia mencela
perbuatannya yang tunduk pada hawa nafsu dan berusaha untuk bertobat dan minta
ampun kepada Allah. Namun dia masih terkadang melakukan hal-hal yang salah.
Kondisi manusia seperti ini disebut nafsu al-lawwamah, yaitu jiwa yang
penuh penyesalan. Allah berfirman dalam al-Qur’an,
لا أقسم بيوم القيامة ولا أقسم بالنفس اللوامة
“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa
yang amat menyesali diriny sendiri” (QS al-Qiyamah, 75:1-2)
Ketiga kondisi kejiawaan tersebut akan dialami manusia
sepanang hidupnya selama dia mengalami konflik dalam kepribadiannya. Bila
manusia berhasil menyeim-bangkan kedua tunutan tersebut dan memilih jalan
taqwa, maka pribadinya termasuk kategori akhlaq mahmudah. Sedangkan bagi
manusia yang tidak berhasil menyeimbangkan keduanya dan memilih jalan fujur,
maka pribadinya termasuk kategori akhlaq madzmumah.
Pada
dasarnya akhlaq mahmudah menginduk pada beberapa karakter. Menurut Anis
Matta (2001) induk-induk akhlaq tersebut
adalah :
·
Cinta kebenaran yang melahirkan jujur, adil, komit dan amanah.
·
Kekuatan kehendak yang menurunkan sifat-sifat, seperti : optimis,
inisiatif, tegar, tegas, serius, disiplin, pengendalian diri.
·
Himmah (ambisi) yang tinggi yang melahirkan sifat-sifat seperti :
doorngan berprestasi, dinamika, ketegaran (tidak mudah menyerah), harga diri,
dan keseriusan
·
Kesabaran melahirkan sifat-sifat seperti : ketenangan, kelembutan,
konsistensi, sifat santun, pengendalian diri, dan mampu menjaga rahasia
·
Rasa kasih (rahmah) yang melahirkan sifat-sifat seperti : pemaaf,
lembut, empati, penolong, bakti kepada orangtua, musyawarah, silaturahmi,
santun kepada orang miskin
·
Naluri sosial yang melahirkan sifat-sifat seperti : bersih hati,
kemampuan kerjasama, ukhuwwah, penolong, menutup aurat sesama, dan anti
perpecahan.
·
Cinta manusia yang melahirkan sifat-sifat seperti : bersih jiwa, adil,
kerjasama, dermawan, keterlibatan emosi dan selalu berkehendak baik
·
Kedermawanan yang melahirkan sifat-sifat seperti : pemurah, itsar,
hemat, infaq, harga diri dan ukhuwwah
·
Kemurahan hati melahirkan sifat-sifat seperti : lembut, ridho, luwes,
ceria, pemaaf dan menyenangkan orang lain
Akhlaq
mahmudah ini merupakan wujud kepribadian lurus dan sehat. Meskipun secara
harfiah para ahli bersepakat bahwa tidak ada kepribadian yang sehat. Karena
akan selalu ada sisi yang sakit dalam diri manusia. Namun, al-Qur’an banyak
menye-butkan ciri-ciri kepribadian yang sehat yang merupakan kepribadian yang
terintegrasi, bahagia dan mampu membahagiakan orang lain. Kepribadian ini
tercermin dalam sosok pribadi agung yaitu Muhammad Rasulullah e. Allah berfirman,
و إنك لعلى خلق عظيم
“Dan sesungguhnya engkaulah yang memiliki akhlaq yang mulia…”
(QS al-Qalam, 68:4)
Sedangkan akhlaq madzmumah merupakan penyakit bagi akhlaq
seorang muslim. Menurut Ibnul Qoyyim (Anis Matta, 2001) akar penyakit itu ada
dua, yaitu :
·
Penyakit Syubhat; menimpa
wilayah akal manusia, sehingga kebenaran menjadi samar dan bercampur dengan
kebatilan. Sehingga hilang kemampuan dasar untuk memahami dan memilih. Penyakit
ini bermula dari kedangkalan ilmu yang dimiliki yang bersumber dari lemahnya
akal seseorang.
·
Penyakit Syahwat; menimpa
wilayah hati dan instink manusia. Sehingga dorongan kejahatan mampu mengalahkan
dorongan kebaikan. Maka hilanglah kemampuan mengendalikan diri dan kemampuan
bertekad dengan kuat. Penyakit ini bermula dari lemahnya kemauan yang didasari
kelemahan jiwa seseorang.
Munculnya penyakit ini menutupi akal dan hati manusia
sehingga dia tidak mampu melihat kebenaran, tidak mampu memilih dengan benar.
Dan saat itulah dorongan kejahatannya akan mengalahkan dorongan kebaikan.
Pembentukan
kepribadian atau akhlaq pada dasarnya bergantung pada kualitas pengalaman hidup
yang diperoleh individu sebagai hasil interaksi dirinya dengan pribadi dan
lingkungannya. Pengalaman hidup pertama kali diperoleh individu dari lingkungan
keluarganya melalui perawatan, arahan dan pendidikan yang diberikan orang tua
sebelum dia mengenal dirinya sendiri.
Untuk itu
Rasulullah e bersabda,
ما من مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو
يمجسانه
“Semua anak yang dilahirkan mereka lahir dalam keadaan fitrah,
maka kedua orang tuanyalah yang akan merubah (fitrah) tersebut menjadi bersifat
Yahudi, Nashrani atau Majusi…” (HR Bukhari Muslim)
Sebagai suatu yang nampak dalam perilaku yang menetap,
akhlaq dapat dimiliki individu melalui pembiasaan, arahan dan pendidikan. Oleh
karena itu, selain orang tua, masyarakat dan lembaga pendidikan, tingkat
kematangan dan kesadaran (awareness) individu juga turut mempengaruhi
pembentukan akhlaqnya. Sehingga dengan fitrah yang dimilikinya dia mampu
membedakan yang benar dan salah serta memilih di antara keduanya jalan mana
yang akan dipilihnya.
Menurut Anis Matta (2001: 56-57) akhlaq tersebut dimiliki
dan terbentuk melalui proses yang dijelaskannya sebagai berikut,
“Islam datang membawa nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan
keindahan; lalu nilai-nilai itu masuk dalam wadah fitrah manusia, berupa ruh
dengan dorongan ibadahnya dan jasad dengan dorongan bertindaknya; lalu ada daya
dukung lingkungan alam yang siap mewadahi aktivitas yang lahir dari manusia
itu; lalu dari sisi manusia terjadilah proses-proses ini;
Ia mengenal dan mengetahui nilai-nilai itu melalui panca
inderanya; kemudian akalnya mencoba memahami nilai-nilai itu dan mungkin
memilih atau menolaknya; hasil pilihannya itu kemudian turun ke wilayah hati
yang akan merasakannya lalu meyakini atau mengingkarinya; jika ia meyakininya
maka ia akan menghendakinya, dan kehendak itulah yang turun menjadi tekad
setelah ia memutuskan untuk melakukannya; lalu ia akan melakukan keputusan itu,
maka lahirlah tindakan dan sikapnya; lalu apa yang kemudian dominan (karena
sering terulang melalui kebiasaan) dari tindakan dan sikap itulah yang kita
sebut dengan akhlaq; yang terakhir inilah yang akan membentuk kepribadiannya”
Maka akhlaq atau kepribadian merupakan sesuatu yang dinamis
dan dapat dirubah atau dibentuk. Oleh karena itu selalu ada kesempatan bagi
manusia untuk membentuk pribadinya menjadi akhlaq mahmudah selama dia masih dan
terus berusaha untuk mencapainya.
#ODOPfor99days #day20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar