Jumat, 29 Januari 2016

Kepribadian Dalam Islam

Kepribadian (personality) diartikan Allport sebagai “The dynamic organization within the individual of those psycho-physical systems that determine his unique adjustment to his environment”. Dalam Islam kondisi tersebut dapat dimasukkan dalam terminologi ”Akhlaq”. Menurut al-Jurjany dalam at-Ta’rifat akhlaq adalah,
عبارة عن هيئة للنفس راسخة تصدر عنها الأفعال بسهولة و يسر من غير حاجة إلى فكر و روية
“Gambaran kondisi jiwa yang kuat dan dapat melahirkan perilaku dengan cara yang mudah tanpa membutuhkan kepada pemikiran dan penela’ahan”
Dalam penjelasan selanjutnya al-Jurjany mengatakan bahwa perilaku yang muncul dari individu dapat dikategorikan akhlaq ketika sudah melekat menjadi sifat dan tabi’at sehingga mudah untuk mengamalkannya. Sehingga seseorang tidak dapat dikatakan penyabar, ketika kesabaran itu muncul karena keterpaksaan atau hanya pada situasi tertentu. Namun apabila kesabaran tersebut sudah menjadi tabi’at dan kebiasaannya yang melekat, barulah hal itu dapat dikategorikan sebagai akhlaq.
Untuk itu kepribadian dalam Islam merupakan perilaku menetap yang lahir dari individu dan terbentuk melalui pembiasaan, pendidikan dan pelatihan. Sehingga seluruh kehidupan manusia dipandang sebagai suatu proses pendidikan panjang yang akan membentuk akhlaqnya. Dan Islam datang sebagai sarana untuk mengarahkan akhlaq tersebut agar menjadi akhlaq yang lurus. Seperti yang diungkapkan oleh Nabi e dalam haditsnya,
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlaq” (al-Hadits)
Akhlaq dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua, yaitu akhlaq fitriyah dan akhlaq muktasabah. Akhlaq fitriyyah adalah kepribadian yang bersifat bawaan dan melekat dalam diri individu sebagai potensial ability yang harus dikembangkan. Sedangkan akhlaq muktasabah adalah kepribadian individu yang lahir sebagai perolehan dari pendidikan, latihan, pengaruh lingkungan alam dan pengaruh sosial-budaya. Hal ini diungkapkan pula oleh para ahli psikologi kontemporer yang meyakini bahwa kepribadian individu merupakan akumulasi dari sifat bawaan dan pengaruh lingkungan yang diterimanya. Oleh karena itu, kepribadian atau akhlaq dalam Islam dipandang dinamis. Meskipun merupakan perilaku yang sudah menetap dan menjadi tabi’at, namun akhlaq tetap dapat dibentuk dan dirubah sesuai dengan pengaruh yang diterimanya.
Akhlaq yang berwujud perilaku nyata yang mencerminkan kepribadian individu merupakan akumulasi dari iman sebagai keyakinan dan keteguhan hati dengan ‘amal yang berupa perilaku nyata. Untuk itu Allah I selalu menggandengkan kata iman dengan ‘amal sholeh dalam firman-Nya untuk memperlihatkan karakteristik individu yang diharapkan.
Sebagai suatu perilaku, wujud akhlaq terbagi pada dua macam manifestasi, yaitu akhlaq mahmudah (akhlaq terpuji) dan akhlaq madzmumah (akhlaq tercela). Dengan potensi fujur dan taqwa serta kebebasan memilih yang dimiliki manusia, mereka berkesempatan untuk memiliki kedua jenis akhlaq tersebut.
Manusia dalam kepribadiannya memiliki dua karakteristik yang memerlukan keseimbangan. Karakteristik pertama adalah karakteristik hewani yang menuntut dirinya untuk memenuhi kebutuhan dan nafsu fisik. Sedangkan karakteristik yang kedua adalah karakteristik ta’at seperti malaikat yang menuntut dirinya untuk senantiasa menyembah dan menyerahkan diri pada satu Dzat yang Maha Agung.
Kedua karakteristik ini memerlukan pemenuhan dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga seluruh kehidupan manusia merupakan proses untuk menyeimbangkan-nya menjadi satu kepribadian yang lurus dan mantap. Adakalanya manusia ditarik oleh kebutuhan nafsu fisiknya dan adakalanya dia pun ditarik oleh kebutuhan spiritualnya. Sehingga akan terjadi tarik menarik yang dapat menimbulkan konflik psikis dalam diri manusia. Kondisi tarik menarik ini dijelaskan Allah dalam al-Qur’an,
و أما من خاف مقام ربه و نهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى
“ Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (QS an-Nazi’at, 79:40)
Kalimat “menahan diri” memperlihatkan adanya satu konflik dan perjuangan yang terjadi dalam diri manusia sebelum mereka kemudian menentukan pilihannya. Dan kesulitan yang dihadapi manusia dalam menghadapi konflik psikisnya inilah yang akan menjadi ujian bagi keimanannya. Saat dia mampu menyeimbangkan kedua tuntutan tadi sesuai dengan yang diperintahkan, maka kebahagianlah yang akan dicapainya. Namun, jika hanya salah satu tuntutan saja yang dapat dipenuhinya maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam kepribadian individu tersebut.
Saat manusia lebih mengikuti tuntutan nafsu fisiknya, dia lupa akan Tuhannya dan hari akhir. Pada saat seperti itu hidupnya tidak lebih mulia dari binatang bahkan lebih hina dari itu. Mereka memiliki kepribadian yang tidak matang, dan tidak ada bedanya dengan anak kecil yang perhatiannya tertuju pada pemenuhan kebutuhan fisiknya saja (impulsif). Kondisi jiwanya berada pada keadaan nafsu al-ammarah. Seperti yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an,
و ما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي غفور رحيم
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yusuf, 12:53)
Sebaliknya adalah orang yang mampu membersihkan hatinya, mensucikan nafsunya. Sehingga dia mampu memenuhi tuntutan spiritualnya dengan selalu beribadah dalam setiap langkahnya tanpa melupakan pemenuhan tuntutan nafsu fiisknya. Dia mengendalikan seluruh hawa nafsunya dan mengarahkan pemenuhannya sesuai syari’at. Pada saat seperti ini jiwanya berada dalam ketenangan dan mencapai kondisi nafsu al-muthmainnah. Allah berfirman,
يأيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية فادخلي في عبادي وادخلي جنتي
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kau kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoinya, maka masulah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surgaKu” (QS al-Fajr, 89: 27-30)
Di antara kedua kondisi jiwa tersebut, adakalanya pula manusia mengalami kondisi kesadaran akan kesalahannya, sehingga dia mencela perbuatannya yang tunduk pada hawa nafsu dan berusaha untuk bertobat dan minta ampun kepada Allah. Namun dia masih terkadang melakukan hal-hal yang salah. Kondisi manusia seperti ini disebut nafsu al-lawwamah, yaitu jiwa yang penuh penyesalan. Allah berfirman dalam al-Qur’an,
لا أقسم بيوم القيامة ولا أقسم بالنفس اللوامة
“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali diriny sendiri” (QS al-Qiyamah, 75:1-2)
Ketiga kondisi kejiawaan tersebut akan dialami manusia sepanang hidupnya selama dia mengalami konflik dalam kepribadiannya. Bila manusia berhasil menyeim-bangkan kedua tunutan tersebut dan memilih jalan taqwa, maka pribadinya termasuk kategori akhlaq mahmudah. Sedangkan bagi manusia yang tidak berhasil menyeimbangkan keduanya dan memilih jalan fujur, maka pribadinya termasuk kategori akhlaq madzmumah.
Pada dasarnya akhlaq mahmudah menginduk pada beberapa karakter. Menurut Anis Matta  (2001) induk-induk akhlaq tersebut adalah :
·         Cinta kebenaran yang melahirkan jujur, adil, komit dan amanah.
·         Kekuatan kehendak yang menurunkan sifat-sifat, seperti : optimis, inisiatif, tegar, tegas, serius, disiplin, pengendalian diri.
·         Himmah (ambisi) yang tinggi yang melahirkan sifat-sifat seperti : doorngan berprestasi, dinamika, ketegaran (tidak mudah menyerah), harga diri, dan keseriusan
·         Kesabaran melahirkan sifat-sifat seperti : ketenangan, kelembutan, konsistensi, sifat santun, pengendalian diri, dan mampu menjaga rahasia
·         Rasa kasih (rahmah) yang melahirkan sifat-sifat seperti : pemaaf, lembut, empati, penolong, bakti kepada orangtua, musyawarah, silaturahmi, santun kepada orang miskin
·         Naluri sosial yang melahirkan sifat-sifat seperti : bersih hati, kemampuan kerjasama, ukhuwwah, penolong, menutup aurat sesama, dan anti perpecahan.
·         Cinta manusia yang melahirkan sifat-sifat seperti : bersih jiwa, adil, kerjasama, dermawan, keterlibatan emosi dan selalu berkehendak baik
·         Kedermawanan yang melahirkan sifat-sifat seperti : pemurah, itsar, hemat, infaq, harga diri dan ukhuwwah
·         Kemurahan hati melahirkan sifat-sifat seperti : lembut, ridho, luwes, ceria, pemaaf dan menyenangkan orang lain
Akhlaq mahmudah ini merupakan wujud kepribadian lurus dan sehat. Meskipun secara harfiah para ahli bersepakat bahwa tidak ada kepribadian yang sehat. Karena akan selalu ada sisi yang sakit dalam diri manusia. Namun, al-Qur’an banyak menye-butkan ciri-ciri kepribadian yang sehat yang merupakan kepribadian yang terintegrasi, bahagia dan mampu membahagiakan orang lain. Kepribadian ini tercermin dalam sosok pribadi agung yaitu Muhammad Rasulullah e. Allah berfirman,
و إنك لعلى خلق عظيم
“Dan sesungguhnya engkaulah yang memiliki akhlaq yang mulia…” (QS al-Qalam, 68:4)
Sedangkan akhlaq madzmumah merupakan penyakit bagi akhlaq seorang muslim. Menurut Ibnul Qoyyim (Anis Matta, 2001) akar penyakit itu ada dua, yaitu :
·         Penyakit Syubhat; menimpa wilayah akal manusia, sehingga kebenaran menjadi samar dan bercampur dengan kebatilan. Sehingga hilang kemampuan dasar untuk memahami dan memilih. Penyakit ini bermula dari kedangkalan ilmu yang dimiliki yang bersumber dari lemahnya akal seseorang.
·         Penyakit Syahwat; menimpa wilayah hati dan instink manusia. Sehingga dorongan kejahatan mampu mengalahkan dorongan kebaikan. Maka hilanglah kemampuan mengendalikan diri dan kemampuan bertekad dengan kuat. Penyakit ini bermula dari lemahnya kemauan yang didasari kelemahan jiwa seseorang.
Munculnya penyakit ini menutupi akal dan hati manusia sehingga dia tidak mampu melihat kebenaran, tidak mampu memilih dengan benar. Dan saat itulah dorongan kejahatannya akan mengalahkan dorongan kebaikan. 
Pembentukan kepribadian atau akhlaq pada dasarnya bergantung pada kualitas pengalaman hidup yang diperoleh individu sebagai hasil interaksi dirinya dengan pribadi dan lingkungannya. Pengalaman hidup pertama kali diperoleh individu dari lingkungan keluarganya melalui perawatan, arahan dan pendidikan yang diberikan orang tua sebelum dia mengenal dirinya sendiri.
Untuk itu Rasulullah e bersabda,
ما من مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
“Semua anak yang dilahirkan mereka lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang akan merubah (fitrah) tersebut menjadi bersifat Yahudi, Nashrani atau Majusi…” (HR Bukhari Muslim)
Sebagai suatu yang nampak dalam perilaku yang menetap, akhlaq dapat dimiliki individu melalui pembiasaan, arahan dan pendidikan. Oleh karena itu, selain orang tua, masyarakat dan lembaga pendidikan, tingkat kematangan dan kesadaran (awareness) individu juga turut mempengaruhi pembentukan akhlaqnya. Sehingga dengan fitrah yang dimilikinya dia mampu membedakan yang benar dan salah serta memilih di antara keduanya jalan mana yang akan dipilihnya.
Menurut Anis Matta (2001: 56-57) akhlaq tersebut dimiliki dan terbentuk melalui proses yang dijelaskannya sebagai berikut,
“Islam datang membawa nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan; lalu nilai-nilai itu masuk dalam wadah fitrah manusia, berupa ruh dengan dorongan ibadahnya dan jasad dengan dorongan bertindaknya; lalu ada daya dukung lingkungan alam yang siap mewadahi aktivitas yang lahir dari manusia itu; lalu dari sisi manusia terjadilah proses-proses ini;
Ia mengenal dan mengetahui nilai-nilai itu melalui panca inderanya; kemudian akalnya mencoba memahami nilai-nilai itu dan mungkin memilih atau menolaknya; hasil pilihannya itu kemudian turun ke wilayah hati yang akan merasakannya lalu meyakini atau mengingkarinya; jika ia meyakininya maka ia akan menghendakinya, dan kehendak itulah yang turun menjadi tekad setelah ia memutuskan untuk melakukannya; lalu ia akan melakukan keputusan itu, maka lahirlah tindakan dan sikapnya; lalu apa yang kemudian dominan (karena sering terulang melalui kebiasaan) dari tindakan dan sikap itulah yang kita sebut dengan akhlaq; yang terakhir inilah yang akan membentuk kepribadiannya”
Maka akhlaq atau kepribadian merupakan sesuatu yang dinamis dan dapat dirubah atau dibentuk. Oleh karena itu selalu ada kesempatan bagi manusia untuk membentuk pribadinya menjadi akhlaq mahmudah selama dia masih dan terus berusaha untuk mencapainya.

#ODOPfor99days #day20


Tidak ada komentar:

Posting Komentar