Jumat, 15 Januari 2016

Komunikasi Empatik

Dalam membina rumah tangga, komunikasi menjadi bagian penting yang harus mendapat perhatian tiap pasangan. Evaluasi yang kontinu terhadap pola komunikasi antar pasangan harus senantiasa dilakukan demi terciptanya hubungan yang harmonis. Banyak pasangan yang menyadari hal ini, namun kesulitan untuk menerapkan pola komunikasi yang baik dan tepat masih sering menjadi permasalahan utama dalam rumah tangga.

Stephen Covey (1997) seorang trainer motivasi mengemukakan sebuah gagasan tentang pola komunikasi empatik yang ditulisnya dalam bukunya yang berjudul “The 7 Habits of Highly Effective People” atau 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Komunikasi empatik adalah pola komunikasi yang memiliki prinsip ‘berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti’. Prinsip ini sebenarnya sudah sejak lama diajarkan oleh Rasulullah saw baik dalam membina komunikasi di keluarga maupun masyarakat.

Dasar dari komunikasi empatik adalah keterampilan mendengarkan empatik, dimana setiap pasangan berusaha mendengarkan secara intensif apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasangannya. Empati memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan simpati. karena dalam mendengarkan empatik, kita bukan hanya mendengarkan dengan telinga, namun juga mendengarkan dengan mata dan hati kita.

Kebiasaan kita saat mendengarkan orang lain adalah dilanjutkan dengan menjawab, mengomentari dan merefleksikannya dengan keadaan kita sendiri.  Seperti contoh, “Saya bisa mengerti perasaan anda, saya juga pernah mengalaminya, cobalah lakukan ini dan itu, saya pun berhasil mengatasi masalah dengan melakukan hal tersebut.” Pada saat kita mengatakan hal itu, sebenarnya kita bukan sedang mendengarkan orang lain, namun kita sedang memaksakan orang lain untuk mendengarkan dan mengerti kita.

Mendengarkan empatik adalah memahami orang lain dengan memasuki paradigma mereka dan tidak menjadikan paradigma kita sebagai acuan. Kita mendengarkan orang lain dengan maksud untuk memahami dan bukan mengevaluasi juga menilai secara sepihak. Inilah konsep yang diisyaratkan dalam hadits

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (البخارى)
Dari Nabi saw bersabda : Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai dia mampu mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri (HR Bukhari).

Mendengarkan secara empatik mensyaratkan kita  menghilangkan berbagai prasangka yang biasanya memberikan persepsi awal terhadap apa yang akan disampaikan orang lain terhadap kita. Sehingga kita merasa bahwa kita mengetahui kemana arah pikiran dan perasaan orang tersebut. Rasulullah saw sangat mewanti-wanti umatnya untuk menjauhi prasangka. Karena prasangka adalah ‘akdzabul hadits’. Prasangka hanya akan menggiring kita pada justifikasi sepihak, sehingga respon yang kita berikan menjadi tidak adil.

Mendengarkan secara empatik memerlukan latihan yang terus menerus dan kontinu. Tidak mudah mewujudkannya dalam pola komunikasi kita, terutama karena kita terbelenggu dengan kebiasaan mendengarkan yang diakhiri dengan menilai dan mengevaluasi pasangan kita. Bahtera rumah tangga merupakan tempat yang paling efektif untuk mengasah dan mengaplikasikan konsep tersebut.

Melalui pernikahan kita disatukan dengan orang yang pada awalnya bukan siapa-siapa kita, tapi kemudian menjadi orang pertama yang kita temui saat bangun tidur. Pemahaman terhadap pikiran dan perasaan pasangan mutlak diperlukan dalam upaya mewujudkan rumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Dengan pola mendengarkan empatik, pemahaman tersebut dapat kita raih dengan baik, meskipun perlu latihan yang terus menerus. Selama ini kita hanya belajar tentang bagaimana cara bicara dan mengungkapkan pikiran kita dengan baik, namun kita lupa belajar bagaimana mendengarkan yang baik.

Saat kita mendengarkan orang lain dalam hal ini pasangan kita, serta berusaha membenamkan diri kita untuk memahami mereka, sebenarnya kita tengah membuka jalan agar pasangan kita pun memahami kita. Dengan bekal pemahaman terhadap pikiran dan perasaan pasangan kita, kemudian kita berusaha mendiagnosa dan bersama-sama merumuskan solusi untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Pemahaman yang tumbuh dari komunikasi yang empatik akan mempu menumbuhkan kepercayaan dan kasih sayang yang mendalam. Inilah makna dari konsep berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti.

Komunikasi yang empatik juga dilandaskan pada cinta dan kasih sayang yang merupakan rahmat dari Allah SWT dan tercurah hanya pada hati yang siap menerimanya. Cinta dan kasih sayang lahir dari kelembutan hati yang selalu siap menerima berbagai kondisi baik positif maupun negatif. Semuanya muncul karena dilandasi keimanan bahwa segala yang telah ditentukan Allah adalah baik.

Cinta dan kasih sayang yang diwujudkan oleh komunikasi empatik adalah cinta yang mampu membangkitkan perasaan yang terpuruk, cinta yang mampu memaafkan setiap kesalahan yang ada, juga cinta yang mampu memberikan ruang bagi kealfaan dan kekurangan. Karena jika cinta hanya menuntut kesempurnaan, berarti cinta itu tidak sempurna. Inilah yang diisyaratkan dalam du’a Rasulullah saw untuk pasangan pengantin, “Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khoirin” (semoga Allah mencurahkan barokahnya baik dalam suka maupun  duka, dan mengumpulkan apa yang ada di antara kalian berdua agar selalu ada dalam kebaikan).


Komunikasi empatik merupakan salah satu cara untuk membina komunikasi yang efektif dalam rumah tangga. Sehingga, suami dan istri mampu menempatkan dirinya dalam koridor peran dan tanggungjawabnya masing-masing tepat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

#ODOPfor99days #day10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar