Kamis, 11 April 2013

Belajar VS Bermain


Istilah bermain dan belajar sering menjadi penyebab terjadinya 'percekcokan' antara kita sebagai orangtua dengan anak. Orangtua sering menuntut anak untuk lebih banyak belajar daripada bermain, namun anak sebaliknya. Sebenarnya hal itu tak perlu terjadi, karena pada dasarnya bermain dan belajar bukan merupakan dua hal yang berbeda.

Dunia anak adalah dunia yang penuh keceriaan dan canda tawa. Kita sering dibuat tertawa sendiri jika mengenang masa itu dalam hidup kita. Aktivitas mereka masih terlihat natural, tanpa harus terbebani dengan berbagai formalitas kehidupan. Bermain pun menjadi salah satu karakteristik kehidupan mereka yang khas. Sehingga dunia mereka adalah dunia bermain. Namun, orangtua sering membatasi aktivitas bermain anak dengan alasan agar mereka belajar lebih banyak.

Kejengkelan, kekhawatiran serta kekesalan orangtua biasanya dikarenakan mereka mempertentangkan antara bermain dengan belajar. Pada saat belajar, anak dituntut untuk serius, kaku dan tidak dapat mengekspresikan dirinya secara utuh. Bagi seorang anak, ini adalah pengekangan. Sehingga tidak sedikit yang terjadi malah pembangkangan. Pada akhirnya anak akan mempersepsi belajar secara negatif dan berusaha terus menghindarinya.

Selama ini para orangtua mengorientasikan belajar pada banyaknya hal yang dapat dihafal anak, nilai rapot yang bagus, juara kelas serta segudang prestasi. Mereka kemudian menyusun program belajar, les, kursus serta privat lainnya yang harus diikuti anak. Sehingga, terkesan mereka menjadikan anaknya robot yang harus dapat mencapai cita-cita orangtua mereka. Dengan paradigma belajar seperti ini, anak menjadi seorang yang kaku karena tidak dapat memenuhi kebutuhan bermainnya. Banyak anak yang tidak dapat mengembangkan fungsi psikologisnya, kemampuan mental serta tidak mendapat kebahagiaannya.

Pada dasarnya belajar bagi seorang anak, adalah bagaimana dia dapat mengenal, memahami serta bersikap dalam lingkungannya. Anak telah memiliki kemampuan untuk membangun dan mengkreasi pengetahuan. Belajar sebagai suatu proses yang disengaja hanyalah bertugas memfasilitasi proses pembangunan dan pengkreasian pengetahuan tersebut. Melalui aktivitas yang natural, hangat dan menyenangkan belajar akan terasa lebih bermakna bagi anak.

Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua agar dapat menghadirkan proses belajar yang menyenangkan, yaitu :

1.       Ubah mindset orangtua bahwa belajar harus serius
Pandangan yang lurus ke depan, duduk dengan manis, sikap tubuh yang tegap dan tidak loyo, tangan yang selalu siap mencatat adalah sikap-sikap yang dipersepsikan oleh orangtua harus dilakukan anak saat belajar. Sehingga mereka akan marah saat melihat anaknya tertawa-tawa, loncat kesana kemari, atau membongkar isi lemarinya. Orangtua juga lebih senang melihat anaknya duduk menulis dan membaca daripada menggambar atau main game.

Persepsi inilah yang harus mulai kita ubah. Karena persepsi yang salah tentang belajar akan menimbulkan tindakan yang salah pula dalam memfasilitasi belajar anak. Anak adalah pembelajar alami yang mampu mengkreasikan pengetahuan dan keterampilan secara mandiri. Lihat saja bagaimana saat bayi mereka akhirnya bisa berjalan. Tanpa latihan yang terstruktur, instruksi ataupun aba-aba, mereka mampu meniru orang dewasa berjalan secara mandiri.

2.       Perhatikan sudut pandang anak
Pertimbangkan kepentingan mereka bukan hanya kepentingan kita sebagai orangtua. Kita sebagai orangtua sering mempersepsi bahwa anak tidak tahu apa yang terbaik bagi dirinya, dan orangtuanyalah yang lebih tahu. Anak adalah individu yang unik, yang memiliki keinginan serta perasaan. Mereka ingin dipahami dan dihargai sebagaimana layaknya kita. Untuk itu Lakukan dialog yang terbuka dan jujur tentang apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh anak. Terbuka artinya memberi kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Jujur artinya berikan informasi yang benar serta penghargaan yang tepat untuk setiap prestasinya.

3.       Cairkan batasan antara belajar dan bermain
Tak perlu ada waktu khusus untuk belajar atau bermain, karena setiap aktifitas anak adalah proses belajar yang menyenangkan. Yang perlu dilakukan adalah memfasilitasi setiap aktifitas anak agar lebih bermakna.

4.       Ganti istilah belajar dengan bermain
Jangan katakan, "Yuk, belajar membaca!" tapi katakan, "Yuk, kita mulai permainan membaca." Jangan pula terlalu akademik, karena nilai bukan orientasi utama bagi anak. Tapi kepuasan dan kesenangan adalah tujuan utama aktifitas yang mereka lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar