Salah satu keterampilan dasar yang selayaknya dimiliki oleh anak usia 7 tahun menurut Kurikulum Pendidikan Nasional adalah keterampilan menulis. Bahkan, di beberapa sekolah dasar, keterampilan ini menjadi salah satu pra syarat diterimanya seorang anak untuk masuk sekolah tersebut. Lebih dahsyat lagi, di tingkat Sekolah Dasar secara rutin dilakukan lomba Calistung (Baca, Tulis, Hitung) untuk kelas rendah. Di mana tes yang diberikan dalam lomba tersebut salah satunya adalah anak diminta menulis rapih dengan durasi waktu tertentu sebanyak satu halaman penuh.
Tuntutan untuk duduk diam dan menulis huruf per huruf dengan rapi merupakan salah satu hal yang membuat anak kami menghindar dari sekolah. Ketidaksiapannya untuk duduk diam dalam jangka waktu tertentu sambil mengerjakan tugas cukup dirasa membebani anak kami. Dan kasus ini banyak dialami oleh siswa-siswa sekolah dasar hari ini. Kondisi ini pula yang seringkali menjadi "perseteruan" antara ibu dan anak. Dimana sang ibu menuntut anaknya untuk mau mengikuti instruksi guru, sedangkan anak merasa tertekan dengan tuntutan tersebut.
Menyikapi kondisi tersebut, membuat kami mencoba menyusun ulang konsep belajar menulis bagi anak-anak. Pola pembelajaran menulis yang terjadi di sekolah-sekolah dasar- terutama yang konvensional- nyata-nyata banyak menimbulkan ekses negatif pada diri anak. Sehingga, kami berkeyakinan bahwa belajar menulis, bukan hanya sekedar belajar menuliskan huruf dan kata, serta memperindah bentuk tulisannya. Namun, lebih pada pembelajaran untuk mengungkapkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan.
Tulisan sebagai sarana komunikasi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Ide yang diungkapkan secara lisan, seringkali mudah terlupakan karena tidak terdokumentasikan. Berbeda dengan ide dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Mereka akan abadi, karena terdokumentasikan. Orang bisa melihat kembali ide tersebut di lain waktu bahkan bisa menjadi referensi bagi orang-orang yang membutuhkan ide tersebut.
Dengan keyakinan inilah, kami mulai menanamkan kepada anak-anak kami untuk berani menuliskan ide dan gagasan sesederhana apa pun itu. Tak ada kritikan atas bentuk tulisan maupun kerapihannya. Apalagi dengan teknologi hari ini, menulis tidak lagi menggunakan media alat tulis. Meskipun media alat tulis tetap penting sebagai bagian dari stimulasi motorik halus mereka.
Anak-anak biasanya memulai belajar menulis dengan menuliskan kembali buku cerita yang sudah mereka baca. Selanjutnya mereka belajar menuliskan pengalaman, setelah itu beralih pada menuliskan imajinasi dan pemikiran mereka. Memang belum banyak yang kami lakukan, namun setidaknya dorongan yang kami lakukan cukup membuat anak-anak senang dengan dunia tulis menulis.
Salah satu hasil karya menulis Ira, yang hari ini berusia 6 tahun mulai dpublikasikan di sini. Atau juga hasil tulisan Bani, 9 tahun yang juga dipublikasikan di sini.
Tuntutan untuk duduk diam dan menulis huruf per huruf dengan rapi merupakan salah satu hal yang membuat anak kami menghindar dari sekolah. Ketidaksiapannya untuk duduk diam dalam jangka waktu tertentu sambil mengerjakan tugas cukup dirasa membebani anak kami. Dan kasus ini banyak dialami oleh siswa-siswa sekolah dasar hari ini. Kondisi ini pula yang seringkali menjadi "perseteruan" antara ibu dan anak. Dimana sang ibu menuntut anaknya untuk mau mengikuti instruksi guru, sedangkan anak merasa tertekan dengan tuntutan tersebut.
Menyikapi kondisi tersebut, membuat kami mencoba menyusun ulang konsep belajar menulis bagi anak-anak. Pola pembelajaran menulis yang terjadi di sekolah-sekolah dasar- terutama yang konvensional- nyata-nyata banyak menimbulkan ekses negatif pada diri anak. Sehingga, kami berkeyakinan bahwa belajar menulis, bukan hanya sekedar belajar menuliskan huruf dan kata, serta memperindah bentuk tulisannya. Namun, lebih pada pembelajaran untuk mengungkapkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan.
Tulisan sebagai sarana komunikasi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Ide yang diungkapkan secara lisan, seringkali mudah terlupakan karena tidak terdokumentasikan. Berbeda dengan ide dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Mereka akan abadi, karena terdokumentasikan. Orang bisa melihat kembali ide tersebut di lain waktu bahkan bisa menjadi referensi bagi orang-orang yang membutuhkan ide tersebut.
Dengan keyakinan inilah, kami mulai menanamkan kepada anak-anak kami untuk berani menuliskan ide dan gagasan sesederhana apa pun itu. Tak ada kritikan atas bentuk tulisan maupun kerapihannya. Apalagi dengan teknologi hari ini, menulis tidak lagi menggunakan media alat tulis. Meskipun media alat tulis tetap penting sebagai bagian dari stimulasi motorik halus mereka.
Anak-anak biasanya memulai belajar menulis dengan menuliskan kembali buku cerita yang sudah mereka baca. Selanjutnya mereka belajar menuliskan pengalaman, setelah itu beralih pada menuliskan imajinasi dan pemikiran mereka. Memang belum banyak yang kami lakukan, namun setidaknya dorongan yang kami lakukan cukup membuat anak-anak senang dengan dunia tulis menulis.
Salah satu hasil karya menulis Ira, yang hari ini berusia 6 tahun mulai dpublikasikan di sini. Atau juga hasil tulisan Bani, 9 tahun yang juga dipublikasikan di sini.
Kini, di usia 8 tahun Ira memiliki blog sendiri sebagai sarana menyalurkan idenya dalam dunia tulis menulis
#ODOPfor99days
#day42
#repost