Dari Ibnu 'Amr bin al-'Ash ia
berkata: Rasulullah SAW telah bersabda : Perintahkanlah anak-anakmu untuk
shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak
melaksanakan shalat) saat usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat
tidurnya. (HR Abu Daud).
Anak adalah
amanah Allah SWT yang dititipkan kepada para orangtua. Kalimat ini mengandung
makna yang dalam, karena menunjukkan besarnya tanggungjawab orangtua terhadap
anak. Kewajiban orangtua terhadap anaknya bukan hanya sekedar pemenuhan pangan
dan sandang belaka. Namun, lebih dari itu, Islam menekankan agar para orangtua
mampu menjaga fithrah yang telah dibawa anak sejak lahir. Fithrah yang
menuntun hambaNya untuk senantiasa hanif, dan cenderung pada ketaqwaan
hanya kepada Allah SWT.
Rasulullah
saw telah memberikan uswah bagi umat Islam dalam berbagai segi
kehidupan, termasuk dalam pendidikan anak. Hadits yang dikutip di atas
merupakan rambu-rambu yang telah diajarkan oleh Rasulullah tentang bagaimana
tahapan yang harus dilalui para orangtua dalam mendidik dan membiasakan anak
untuk taat melaksanakan berbagai ritual ibadah sebagai manifestasi taqwa.
Ritual
ibadah yang disentuh oleh hadits tersebut adalah ibadah shalat. Karena shalat
merupakan amalan ibadah yang akan pertama kali dihisab di Yaumul Akhir. Oleh
karena itu, pengajaran Rasulullah saw dalam hadits tersebut dapat dipandang
sebagai penekanan terhadap hal yang utama dan berlaku juga dalam membiasakan
berbagai jenis ibadah lainnya. Oleh karena itu tulisan ini diarahkan pada pola
pembiasaan ibadah kepada anak dengan menitikberatkan pada ibadah shalat.
Menyimak
hadits di atas, setidaknya ada tiga tahapan penting yang harus dilakukan
orangtua dalam mendidik dan membiasakan ibadah kepada anak. Tiga tahapan itu
adalah :
1.
Tahap Pengenalan
Tahap ini
dimulai sedini mungkin, bahkan sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Tahapan
ini akan berakhir saat anak berusia 7 tahun. Sabda Nabi dalam hadits tersebut
dimulai dengan “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat mereka berusia
tujuh tahun” menunjukkan bahwa pendidikan dan pembiasaan ibadah telah
dimulai sebelum anak memasuki usia 7 tahun. Karena tidak mungkin kita
memerintahkan kepada seseorang, hal yang belum dia ketahui. Jika demikian,
tentulah perintah yang kita berikan akan menjadi tidak efektif.
Pada usia
bayi sampai 2 tahun, anak mengenal dunianya melalui kemampuan sensori
(pengindraan), seperti meraba, melihat, mencium, dan mengecap. Bayi tidak
mempunyai pengertian tentang apa yang ada di lingkungannya, oleh karena itu
peran orangtua pada masa ini sangat besar dalam mengenalkan kebiasaan ibadah
kepada bayi. Berikan pengenalan ibadah kepada bayi melalui bahasa. Seperti
mengucapkan basmalah dan hamdalah saat memandikan, memberi makan, memakaikan
pakaian dan sebagainya.
Pada tahap
ini orangtua mulai mengenalkan anak dengan berbagai jenis ibadah yang telah
disyariatkan untuk umat Islam. Caranya dengan melakukan amalan ibadah secara
demonstratif di depan anak. Perlihatkan dan sebutkan kepada anak nama ibadah
yang sedang dilakukan oleh orangtuanya. Gunakan istilah-istilah syariat dan
jangan mengganti istilah ibadah dengan istilah lain, contohnya seperti
mengganti istilah “shalat” dengan “alloh”. Hal ini penting, untuk mendekatkan
dan menjadikan ibadah sebagai bagian dari kehidupan anak.
Pada usia
selanjutnya pengertian anak terus berkembang. Di usia TK, yaitu sekitar 3-6
tahun Syamsu Yusuf (2001) menjelaskan bahwa kesadaran beragamanya ditandai
dengan sikap yang reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya. Oleh karena
itu, pada masa ini mulailah mengajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam
kegiatan ibadah. Ajaklah anak untuk ikut shalat bersama kita, serta sediakan
fasilitas ibadah yang dibutuhkan oleh anak. Jadikan saat ibadah adalah saat
yang menyenangkan bagi anak. Jangan bebani anak dengan istilah wajib dan dosa.
Berikan
penjelasan yang benar dan jujur saat anak bertanya tentang ibadah yang kita
lakukan. Gunakan bahasa yang mudah dan tidak terlalu panjang, agar anak mudah
memahaminya. Pada masa ini anak sudah meningkat kemampuan intelektual serta
bahasanya, oleh karena itu anak sudah mulai bisa menghapal bacaan shalat,
do’a-do’a sehari-hari, serta sudah dapat diajarkan membaca al-Qur’an.
Selain
mengenalkan berbagai jenis ibadah kepada anak, yang terpenting dari tahap
pengenalan adalah memberikan kesan positif terhadap pelaksanaan ibadah. Jangan
jadikan pelaksanaan ibadah sebagai sarana pemberian hukuman, seperti anak harus
menghafal Qur’an, menghafalkan do’a sebagai hukuman karena kesalahannya. Jangan
pula praktek ibadah dijadikan sarana untuk menakut-nakuti anak, seperti ancaman
dikhitan kepada anak jika anak berbuat kesalahan, karena khitan merupakan salah
satu sunnah Rasul dan bagian penting dari ibadah.
2.
Tahap Pembiasaan
Tahap
pembiasaan ibadah merupakan tahapan di mana anak mulai diperintahkan melakukan
ibadah secara rutin dan mulai adanya evaluasi terhadap pelaksanaan ibadahnya.
Tahap ini dimulai saat anak berusia 7 sampai menjelang 10 tahun.
Abin
Syamsuddin M (1996) menyatakan bahwa penghayatan keagamaan anak pada usia ini
semakin mendalam, mereka sudah memahami makna keharusan dalam kegiatan ritual
ibadah. Sikap keagamaan pun sudah disertai pengertian meskipun masih terbatas
pada hal-hal yang bersifat konkrit. Untuk itu, pada usia ini anak sudah bisa
dikenalkan dengan istilah wajib, sunat, haram, dan sebagainya.
Terkait
dengan pengertian yang semakin berkembang, pada masa ini pembiasaan ibadah
kepada anak juga harus disertai dengan pemahaman. Agar anak mulai dapat belajar
menginternalisasi kegiatan ibadah sebagai bagian dari kewajibannya. Zakiah
Daradjat (1986) mengemukakan bahwa pendidikan agama di usia ini merupakan dasar
bagi pembinaan sikap positif terhadap agama dan berhasil membentuk pribadi dan
akhlaq anak, sehingga saat memasuki usia remaja, anak telah mempunyai pegangan
atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa
remaja.
Pendidikan
karakter yang hari ini disebut-sebut sebagai pola pendidikan yang tepat dalam
menghadapi gejala kerusakan akhlaq haruslah diorientasikan pada penanaman dan
pembiasaan ibadah. Karena ibadah dapat membentuk karakter anak menjadi seorang
pribadi yang bertauhid dan berakhlaq.
Pada tahapan
ini, selain pembiasaan kegiatan ritual ibadah juga dilakukan evaluasi terhadap
pelasanaan ibadah tersebut. Ajak anak untuk melihat kembali apakah pelaksanaan
ibadah yang dilakukannya sudah tepat. Apakah wudlunya sudah sempurna, gerakan
dan bacaan shalatnya sudah tepat, shaumnya sudah benar, dan apakah bacaan
alQurannya sudah tartil?
Berikan
penekanan pada aspek-aspek ibadah yang masih belum dikuasai anak secara baik.
Jika anak masih banyak kesalahan dalam gerakan shalat, lakukan latihan terus
menerus hingga gerakannya baik. Jika anak bacaan al-Qur’annya belum tartil,
berikan pembelajaran yang lebih intensif. Jangan sampai orangtua sangat resah
saat usia 7 tahun anak belum bisa membaca, namun tidak merasa resah bahkan
bersikap tak acuh saat usia 7-10 tahun anak belum bisa membaca al-Qur’an.
Pada tahapan
ini anak juga mulai dikenalkan dengan istilah taklif, serta kewajiban yang
membebaninya. Usia 10 tahun merupakan awal masa pubertas, yaitu gerbang anak
memasuki masa baligh. Di mana pada masa ini anak sudah memiliki beban kewajiban
sebagaimana layaknya seorang muslim. Peran orangtua sangat penting dalam
mengenalkan masa ini kepada anak. Jangan sampai anak mendapatkan informasi yang
salah karena berasal dari sumber yang salah. Biarkan anak mendapatkan informasi
yang benar tentang masa taklif dari sumber yang benar.
3.
Tahap Internalisasi
Tahapan ini
adalah tahap puncak dari pendidikan dan pembiasaan ibadah kepada anak. Pada
masa ini anak harus sudah terbiasa melakukan ibadah dan menjadikan ibadah
sehari-hari sebagai bagian penting dari aktifitasnya. Tahapan ini dimulai saat
mereka memasuki usia 10 tahun.
Evaluasi dan
pengawasan yang dilakukan pada masa ini harus lebih intensif dibandingkan pada
masa sebelumnya. Hal ini terlihat dari penekanan adanya hukuman fisik yang
layak dilakukan orangtua terhadap anak saat mereka tidak mau melakukan shalat.
Inilah yang seringkali terabaikan oleh para orangtua. Saat menyadari anaknya
semakin besar, seringkali orangtua cenderung membiarkan anaknya dan tidak lagi
memperhatikan secara intensif dengan asumsi sudah saatnya mereka mandiri.
Pada masa
ini anak memang dituntut untuk mulai mandiri baik secara emosional maupun
pribadi. Namun, mandiri bukan berarti lepas dari pengawasan orangtua.
Pengawasan dan evaluasi terhadap praktek ibadah anak masih harus dilakukan
bahkan harus lebih intensif, namun dengan metode yang berbeda dengan metode
pengawasan yang diterapkan saat mereka masih anak-anak.
Pada usia
remaja, orangtua harus dapat menempatkan dirinya sebagai teman atau sahabat
bagi anak-anaknya. Pola instruksi tidak akan mampu menumbuhkan kemandirian
secara efektif. Sebaiknya perbanyak diskusi agar tumbuh pemahaman yang mendalam
akan proses ibadah yang dilakukan anak. Karena pada tahap ini, anak harus sudah
melakukan ibadah karena keimanan yang tumbuh dalam dirinya.
Pada masa
awal remaja, anak akan mengalami sikap skeptis terhadap ibadah yang selama ini
sudah rutin dilakukannya. Hal ini dipicu oleh tumbuhnya sikap negatif terhadap
pelaksanaan ibadah (meskipun tidak selalu terbuka) disebabkan alam pikirannya
yang kritis dan melihat kenyataan orang-orang hipokrit dalam pengakuan dan
ucapan yang tidak selaras dengan perbuatannya. Untuk itulah pengawasan dan
evaluasi yang lebih intensif penting dilakukan orangtua sebagai penanggungjawab
utama terhadap pola pendidikan dan pembiasaan ibadah kepada anak.
#ODOPfor99days
#day46
#repost