Rasanya tak pernah usai berita tentang penganiayaan, pelecehan,
serta berbagai kasus kekerasan lainnya datang menyapa kita. Pelaku juga
korbannya dari berbagai kalangan mulai dewasa, remaja, hingga anak-anak.
Bahkan, bagaikan jamur di musim hujan. Saat ditemukan satu kasus baru, maka
bermunculanlah kasus-kasus yang serupa dengannya. Seolah penemuan kasus
tersebut bagaikan gunung es yang menjulang ke atas, sedangkan di bawahnya
berhimpun kasus-kasus serupa yang tidak kalah "sengit".
Sebagai seorang muslimah, tentu kita merinding mendengar semuanya.
Tak terbayangkan bagaimana generasi setelah kita, jika masa anak-anak dan
remajanya penuh dengan berbagai penganiayaan, pelecehan, dan lain sebagainya.
Bukankah Ali bin Abi Thalib telah menyatakan bahwa, anak-anak kita akan hidup
di zaman yang berbeda dengan kita? Jika pondasi zaman yang diletakkan hari ini
berada dalam dunia yang penuh kebobrokan, maka bagaimanakah zaman anak-anak
kita nanti??
Setidanya ada tiga hal yang penting menjadi focus perhatian kita
dalam upaya menyelamatkan generasi kita.
1. Pengasuhan Orangtua
Gaya pengasuhan atau yang kini popular dengan istilah
"parenting" merupakan pola perilaku orangtua terhadap anak yang
melibatkan berbagai perilaku. Gaya pengasuhan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap akhlaq seorang anak. Baik akhlaq terhadap diri, orangtua, teman,
saudara, bahkan akhlaq terhadap Allah.
Ibu adalah al-madrasatu al-ula bagi anak-anak. Sikap dan perilaku seorang
ibu terhadap anak-anak akan menjadi dasar bagi sikap dan perilaku mereka di
masyarakat. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda agar memilih wanita yang
al-walud al-wadud. Al-walud artinya subur dan memiliki banyak anak, namun
diiringi al-wadud yaitu cinta dan kasih sayang terhadap anaknya.
Hasil sebuah penelitian menyatakan, bahwa sebagian besar kasus
pelecehan serta kekerasan yang diterima oleh anak-anak bersumber dari
orang-orang terdekatnya termasuk orangtuanya. Apalagi sebagai seorang ibu,
perlakuan kekerasan terhadap anak sangat rentan kita lakukan. Omelan, makian,
serta teriakan tak jarang mewarnai keseharian kita dalam mengasuh anak-anak. Alasan
"demi kebaikan anak" tetap tidak dapat membenarkan perilaku tersebut.
Karena jika niatnya baik, caranya pun harus baik. Itulah yang diajarkan Islam
pada umatnya.
Rasulullah SAW telah memberikan banyak contoh tentang cara
mengajarkan kebaikan pada anak. Teladan yang Beliau berikan tak pernah diwarnai
omelan, teriakan, maupun pukulan. Namun, generasi yang Beliau hasilkan adalah
generasi salafus shalih, yang mampu menaklukan dunia dengan keimanan.
Berikan kepada anak-anak kita, cinta yang melindungi di kala mereka
gundah. Bukan cinta yang mendikte di kala mereka salah. Curahkan kasih sayang
yang menumbuhkan kesadaran, bukan kasih saying yang membutakan mata hati. Ungkapan
pujian dan ucapan saying harus senantiasa menghiasi bibir kita ketika
berkomunikasi dengan anak-anak. Tegurlah mereka dengan kelembutan, berikan
selalu arahan untuk berbuat kebaikan melalui teladan dan nasehat.
2. Pendidikan dan Sekolah
Pendidikan seorang anak adalah mutlak tanggungjawab orangtuanya.
Banyak sudah ayat al-Qur'an serta hadits Nabi Muhammad saw yang berbicara
tentang hal ini. Menyadari tanggungjawab ini tidak sedikit orangtua yang rela
mengeluarkan uang puluhan juta rupiah demi pendidikan anak-anak mereka. Ada
lagi kelompok lain yang segera mencarikan lembaga pendidikan yang baik sejak
usia anak mereka masih dini. Dengan melakukan itu semua mereka merasa telah
memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya. Padahal tidak, karena pendidikan
terbaik ada di dalam rumah.
Lembaga pendidikan adalah pihak ketiga dalam proses pendidikan anak
yang berperan membantu tugas orangtua. Namun, bukan menjadi pengambil alih
proses pendidikan tersebut. Tanggungjawab pendidikan tidak serta merta
berpindah kepada lembaga saat kita telah membayar mahal lembaga tersebut.
Orangtua dan rumah tetap memiliki peran dan tanggungjawab yang paling besar
terhadap pembentukan akhlaq anak-anak kita. Pondasi keimanan serta bangunan
kesholehan selayaknya dibangun oleh para orangtua sejak dini.
Apalagi jika melihat kondisi system pendidikan di Negara kita saat
ini. Kurikulum yang terus berganti dan tidak diiringi dengan pergantian
SDM-nya. Menyebabkan kurikulum tersebut bagaikan omong kosong dan bualan
semata. Pergeseran paradigma keberhasilan belajar yang hanya diukur sebatas
nilai rapot. Keberhasilan seorang anak yang hanya dipandang dari pengumuman
kelulusan ujian. Materi-materi yang diberikan dihafal dan dibaca hanya sekedar
untuk dapat menjawab soal ulangan. Semuanya melahirkan generasi yang rapuh
nilai dan kosong akan makna.
Saatnya kita bergerak, menjadikan rumah kita sebagai madrasah
pertama dan yang utama bagi anak-anak kita. Ajarkan pesan-pesan Nabi SAW,
sampaikan kisah-kisah para pejuang Islam. Niscaya anak-anak kita akan memiliki
jiwa besar. Mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi, konsep diri yang
baik, pikiran yang terbuka, dada yang lapang dan harga diri (self-esteem)
yang kukuh.
Jadikan lembaga di luar rumah hanya sebagai bala bantuan yang
digunakan jika diperlukan. Selektif memilih dan memilah bagian mana yang akan
kita perkuat sendiri di rumah, dan bagian mana yang memerlukan bantuan pihak
luar.
3. Teknologi Informasi dan Komunikasi
Dunia kita hari ini telah jauh berubah. Arus globalisasi yang
ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi dan informasi menyebabkan dunia
makin sempit. Kita akan dengan sangat mudah mengakses berbagai kisah dan berita
dari berbagai belahan dunia hanya dalam hitungan detik. Media elektronik bukan
lagi barang mewah yang hanya dimiliki orang berduit. Karena di setiap rumah
bahkan yang terletak di gang sempit, teknologi ikut hadir.
Kondisi ini menyebabkan anak-anak kita menjadi digital natives
atau anak-anak digital. Teknologi menjadi bagian dari keseharian mereka, dan
mereka mengenal teknologi tersebut sejak lahir. Dampaknya mereka menjadi sangat
bergantung pada listrik, internet, dan gadget.
Problematika yang sering muncul pada anak-anak ini salah satunya
adalah kurang focus. Gambar-gambar yang dihasilkan perangkat digital mudah
berubah dan berdurasi singkat. Hal ini menyebabkan anak-anak sulit
berkonsentrasi dan cenderung sulit tenang. Emosi mereka meledak-ledak, serta
seringkali bertingkah sesukanya. Informasi terbuka yang mudah sekali mereka
dapatkan menyebabkan orangtua dan guru tidak lagi menjadi sumber referensi
mereka.Pengaruh buruk teknologi telah banyak diungkap dan dibahas para ahli.
Yang perlu kita sikapi adalah bagaimana membentengi anak-anak kita dari
pengaruh buruk tersebut.
Meski begitu kita tidak bisa mengharamkan teknologi untuk anak-anak.
Karena bagaimana pun juga ada banyak peluang dan keuntungan di sana. Yang harus
kita lakukan pertama kali adalah paham dan terampil dalam menggunakan
teknologi. Selanjutnya jadilah orangtua yang otoritatif, dengan memberlakukan
aturan main bagi penggunaan teknologi yang mengikat semua anggota keluarga
termasuk kita. Masukkan ke dalam aturan main tersebut batasan waktu serta
reward dan punishment.
Orangtua harus waspada saat muncul gejala kecanduan pada anak.
Segera hindarkan anak dari teknologi dan berikan alternative kegiatan yang
lebih menantang tapi tetap menyenangkan bagi anak. Jadikan teknologi yang
mulanya sebagai saraba hiburan menjadi sarana pendidikan dan belajar bagi
anak-anak kita. Insya Allah, saat orientasi pendidikan sudah lurus. Pola
pengasuhan sudah dibenahi, teknologi tidak lagi menjadi buah simalakama bagi
kita.
Selayaknya sebagai seorang Muslimah, kita tidak akan hanya menyesali
dan mengutuk berbagai kondisi negative yang muncul akhir-akhir ini. Namun,
saatnya kita berkarya berbuat sesuatu yang nyata demi menyelamatkan generasi
penerus kita. Tentunya demi kejayaan Islam dan kaum Muslimin.
#ODOPfor99days
#day23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar